Rindu yang Ungu
Oleh : Ahmad Sayuthy Al Malik, S.Pd
Dua bulan telah berlalu, Pardjo belum juga pulang ke kampong. Hatiku
rindu terbatas samudra biru yang membentang. Kampung nelayan masih juga riuh
ketika fajar baru saja menyingsingkan senyum cerianya. Aku berjalan ke
bilik-bilik bambu dekat pantai. Duduk sendiri merenung nasib. Memikirkan hati
yang pilu karena rindu yang ungu. Ayah tetap saja santai membaca koran di
serambi rumah sambil menikmati secangkir kopi buatanku tadi sehabis mandi dan
sesekali melirik kemana aku melangkahkan kaki. Rasanya seperti diintai oleh
mata-mata yang ingin menculikku. Gundah, tak nyaman, geram, pilu sebuah
perasaan yang muncul dari dalam hati yang tiba-tiba menjulur ke sudut pikiran.
Entah mengapa ku merasa begitu. Apa mungkin aku sudah rindu dengan seloroh-seloroh
dari Jo, orang yang ku sukai kini telah dirantau orang dan tak kembali-kembali.
Inah datang dengan tiba-tiba, dan kami berdua tertawa lepas sambil
menikmati suara merdu deburan ombak bagaikan orang yang menabuh genderang
perang bersama bidadari-bidadari khayangan dan ksatria-ksatria menawan. Inah
memang periang, lucu, dan menggemaskan karena seloroh-seloroh dan tingkah
lakunya yang aneh. Ya, kami adalah
saudara yang saling berbagi satu sama lain. Tidak pernah merasa dirugikan atau
diuntungkan. Saling berbagi meskipun saling mencela karena kebisingan kami
ketika bertemu dimanapun tempatnya. Ya, kami adalah saudara yang saling
membutuhkan satu sama lain, karena itu kami dinamakan saudara sepupu.
Inah bercerirta tentang Umam yang semakin hari semakin menarik baginya,
jika dilihat ternyata ada bias-bias cinta dalam hati Inah terhadap Umam yang
sesekali mampir ke rumah Inah sambil membawakan seikat ikan bawal untuknya.
Mungkin saudaraku ini sedang merasakan jatuh cinta untuk pertama kali dalam
hidupnya. Ingin rasanya tertawa tapi aku takut untuk mengungkapkannya dengan
lepas, hanya senyum saja yang ku lempar menandakan arti senang mendengar
ceritanya. Aku senang sekali tahu bahwa Inah memendam cinta pada Umam, begitu
juga Umam kepada Inah.
Hari berganti hari, bulan berganti kembali, waktu pun tetap terasa
lambat di hadapanku. Aku tak bisa membuncahkan rasa rinduku, hanya diri sendiri
yang merasakan dan orang lain pun tak tahu dan paham, rindu yang ungu, ya rindu
yang aku rasakan dalam hatiku sekarang ini setelah kepergian laki-laki yang
bisa membuatku tersenyum laiknya buka sakura yang merekah di musim semi. Ku
jalani hari yang berat tanpa rasa senang dalam hati. Ayahku tetap saja ingin
aku menerima pinangan anak saudagar kaya teman Ayah ketika melaut. Memang
mereka berteman baik, akrab seperti saudara sendiri, anaknya laki-laki tampan,
berpendidikan tinggi di luar kampong kami ini, berpenampilan menarik, bertutur
bahasa yang baik, tetap saja aku tak bisa mencintainya lantaran hatiku sudah
terkunci untuk mencintai orang lain, mencintai laki-laki yang bernama Jo.
Meskipun terbesit dalam hati, bahwa keinginanku ini tidak akan menemukan akhir
yang indah dalam cerita hidupku ini. Aku ingin satu saja orang yang mengisi
ruang-ruang dalam hidupku. Apakah ini yang dinamakan setia menurut orang tua
jaman dahulu. Atau ini hanya perasaanku saja yang memang baru pertama kali
jatuh cinta kepada seseorang yang sangat memperhatikanku sedari kecil hingga
aku dewasa menjadi gadis yang ditinggal pergi oleh kekasih hatinya.
”Sesal yang terasa, cintaku akan tetap ada, tak akan berpindah ke lain
jiwa, kan ku ungkapkan rasa terpendam dalam jiwa, kan ku berikan semua untuknya
aku kan setia, walaupun ku teteskan air mata, selamat jalan cinta”. Ucapku
lirih mengahadap ke deburan ombak.
”Mun, kau kenapa?” tanya Inah yang membuatku tersentak dari lamunanku.
”Ah, tak apa-apa” jawabku meyakinkan Inah.
Inah tak hanya diam, tapi ia ternyata memperhatikanku dari tadi ketika
aku terhanyut dalam lamunan indah walaupun sendiri. Terlihat dari pandangannya
terhadapku yang penuh dengan pertanyaan tentang hatiku.
”Mun, kau teringat pada pardjo ya?” tanyanya pelan sambil menghela
nafas.
”Ah, tidak Nah, aku hanya berpikir bagaimana ombak itu bisa berbuih,
seperti nama kampong kita tercinta ini, Kampong Ombak Berbuih” jawabku datar.
”Sudahlah Mun, kau tak usah menyembunyikan perasaanmu pada Pardjo, aku
paham apa yang kau rasakan Mun, aku ini saudaramu, teman mainmu sejak kecil”
tegas Inah dengan membalikkan badanku supaya berhadapan dnegannya.
”Aku tak apa-apa Inah, paham apa kau tentang perasaan yang ku pendam”
hardikku kepada Inah.
”Mun, kau masih ingat surat dari Jo, pagi itu? Sejak saat itulah kau
selalu bersikap seperti ini, sering melamun dan menghabiskan waktu ditepian
pantai sampai matahari tenggelam dalam lautan.” perjelas Inah padaku.
”Aku tak tahu Inah, aku hanya bersikap seperti gadis pada umumnya saja,
tidak lebih, sama seperti kau Inah. Biasa saja, tidak ada yang lebih” jawabku
padanya.
”Sudahlah Mun, kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu itu padaku, aku
tahu apa yang kau rasa, berbagilah cerita kepadaku, aku ini saudaramu, aku tahu
kapan kau merasa suntuk, senang, dan sebagainya. Kita sama-sama gadis yang
memendam rasa cinta dan rindu kepada seorang lelaki” tegas Inah meyakinkanku
untuk bercerita kepadanya.
”Aku hanya rindu pada seseorang Nah, Jo, kau tahu kan itu, sejak surat
itu datang padaku untuk pertama kalinya, hingga saat ini aku masih menunggunya
dnegan harapan dia kembali kepadaku dan melamarku seperti gadis-gadis lain di
kampong kita ini. Apakah salah jika aku menolak pinangan anak saudagar teman
Ayahku itu Nah? Aku tak tahu harus menjawab apa? Di satu sisi aku tak ingin
mengecewakan Ayahku, di sisi lain aku hanya cinta pada satu orang lelaki,
Pardjo. Dia orang yang sangat aku cintai”
jawabku dnegan berderai air mata.
”Mun, kau tidak salah dnegan kedua keinginanmu itu, berat memang,
tetapi orangtua yang baik adalah orang tua yang mengerti keinginan anaknya,
meskipun itu sulit diterima oleh akal sehat orang tua yang menginginkan anaknya
mendapat pasangan hidup yang layak. Namun anak yang baik adalah anak yang
menuruti perintah orangtuanya. Susah memang kita hidup menjadi gadis, dilema,
ya itu yang kita rasakan sekarang, terutama kau Mun” timpal Inah dengan
mengusap kepalaku perlahan-lahan.
Kata-kata itu membuatku menjadi seperti orang yang mendapat energi
baru, aku berpikir bolehkah aku menjadi seseorang wanita yang pertama kali
keluar dari kampong ini untuk bekerja, mungkin dengan hal itu aku bisa saja
bertemu dnegan Pardjo. Singkat sekali pemikiranku ini, dan secepat mungkin aku
menjawab dalam hati, bahwa hal itu mustahil bisa terkabulkan oleh Ayahku. Di
kampong kami ini, wanita terutama gadis tidak boleh bekerja diluar kampong,
boleh bekerja ketika sudah bersuami atau ditinggal suami mati. Berat memang
mengikuti adat. Tetapi kata orang tua di kampong kami ini itu adalah hal yang
menghargai wanita sebagai seseorang yang sanagt dihormati.
Kami berdua larut dalam perasaan yang semakin membuncah. Rindu yang
semakin dalam kepada laki-laki yang berbeda, tetapi dengan kedua sikap orang
tua yang pastinya berbeda. Tak terasa hari sudah hampir gelap, aku dan Inah
kembali menyusuri garis pantai menuju rumah kami masing-masing. Kami berpisah
sambil melayangkan senyum masing-masing.
Aku masuk rumah yang sedari kecil menaungiku hingga sekarang, perasaan
yang aneh tiba-tiba mengusik hatiku ketika aku melangkah masuk teras depan
rumahku, pintu yang sedikit terbuka, cahaya lampu temaram yang membias keluar
menerobos celah pintu, ada gelak tawa dan canda terdengar sayup-sayup dari
dalam rumah, aku terdiam, menyimak apa yang bisa aku simak sebelum aku masuk
dan membuka pintu rumahku. Semakin dekat semakin jelas suara itu, ya aku kenal
dnegan suara itu, suara seseorang yang dekat dnegan Ayahku, suara yang mengikatku
dalam belenggu kebimbangan hati, suara yang menyeretku untuk diam selam ini,
suara yang mengatarkanku pada kenangan dua bulan lalu ketika fajar baru
menyingsing. Suara yang membuat ku tak ingin masuk ke dalam rumah saat ini, aku
kembali melangkahkan kaki pelan-pelan supaya tidak terdengar oleh mereka berdua
di dalam. Kupercepat langkahku sejauh mungkin, dan aku berlari menuju rumah
Inah, saudaraku.
Tanpa mengucap salam, langsung saja ku masuk ke dalm rumah Inah,
menerobos ruang tamu, menuju kamar Inah yang berada di pojok sebelah kiri sudut
rumah , masuk menangkap Inah dengan rangkulanku ke tubuhnya, menangis,
meradang. Inah tersentak kaget dan memelukku kemudian memapahku ke tempat
tidurnya. Inah bertanya-tanya kenapa aku tiba-tiba kerumahnya dengan
tergesa-gesa dan menangis.
”Mun, kau kenapa, tiba-tiba menangis?” tanya Inah penuh keheranan.
”Aku tidak mau pulang, ada seseorang di rumahku yang sangat aku benci.
Dia datang dan sedang berada di ruang tamu. Aku tidak mau masuk, makanya kau ke
sini” keluhku kesal pada Inah.
”Ya sudah kau disini saja sementara, aku temani kau Mun, sampai orang
itu pulang ke rumahnya malam ini” papar Inah dengan penuh kasih sayang padaku
yang masih terisak di pundaknya.
Inah menemaniku yang masih terisak di sudut tempat tidurnya tepat serta
menyenderkan kepalaku di pundaknya yang semampai. Aku masih teringat 8 bulan
yang lalau ayahnya datang bersamanya ke rumahku untuk bertemu ayahku dengan
maksud meminangku. Aku dengar itu sayup-sayup dari dapur sebelum aku menyuguhkan
kopi panas pada mereka bertiga. Apa ayahku tak mengerti bahwa anak gadisnya ini
memiliki hati dan keinginan yang kuat untuk berjodoh dengan orang lain yang
bukan pilihan orangtuanya. Ayah dengarkanlah kata hati anakmu ini. Batinku
menjerit rasa sakit yang memuncak malam ini. Malam yang paling aku benci untuk
kedua kalinya dalam kurun waktu 32 minggu. Malam yang membuatku kabur dari
rumah untuk pertama kalinya. Malam yang dingin sedingin kalbuku yang tersayat
sembilu perasaan yang perih memerih sukma merajut asa dalam impian semata.
Malam yang tak mungkin bisa aku lupakan ketika dalam mabuk kepedihan hati,
orang yang ku sayangi sepenuh hati yang bisa membuat pipiku merona laiknya
bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya merantau di negeri orang nun jauh
di sana di seberang samudra yang biru sebiru hatiku malam ini malam yang
syahdu. Syahdu dalam kepedihan.
Masih terisak dan tenggelam dalam tangisku, aku masih saja bersandar di
bahu kiri Inah. Terdengar ketukan dari luar pintu kamar Inah. Segera ku hapus bekas
airmataku. Kusembunyikan roman mukaku yang pilu, ku ubah dengan wajah riang
meskipun sedikit sendu tampak di mataku. Inah membuka pintunya.
”Nah, kenapa Mumun, kok sepertinya ada masalah?” tanya paman Atim pada
anaknya.
”Tak apa-apa Yah, mungkin Mumun lagi ada masalah. Mungkin saja dia
ingin berbagi cerita padaku seperti yang kami lakukan di pinggir pantai setiap
hari’ jawab Inah sopan dan menetralisir keadaan.
”Mun, kau tak apa-apa kan?” tanya paman Atim padaku.
Aku hanya menyunggingkan senyumku sambil menundukkan mukaku sedikit.
”Sudah Yah, biarkan kami berdua sebentar saja. Mungkin ada beberapa hal
yang mau diceritakan oleh Mumun padaku.” sela Inah pada ayahnya untuk segera
meninggalkan kami berdua di dalam kamar.
”Ya sudah kalau begitu, cerita saja pada Inah, Mun. Kalau lapar
langsung saja ke dapur.” seru paman Atim sambil menutup pintu kamar Inah dari
luar.
”Iya” sahutku lirih.
Kami berdua saling bercerita tentang hubungan kami masing-masing,
terutama aku yang sedang dalam kegalauan hati. Porsi yang diberikan padaku
lebih banyak daripada Inah sendiri. Aku tak bisa menutupi perasaanku pada Inah,
ku ceritakan semua pada Inah. Inah juga begitu. Kami saling berbagi, saling
mengerti keadaan kami masing-masing dalam hal apapun.
Tak terasa malam semakin larut, Ayahku tak juga mencariku. Mungkin dia
tahu ketika kau pelan-pelan lari menghindar dan menuju rumah paman Atim, ayah
dari saudaraku Inah. Mungkin ayah diberitahu oleh paman Atim bahwa kau berada
di rumahnya. Mungkin juga tidak tahu. Aku mulai merasa takut di tengah-tengah
kegalauan yang kurasa. Aku inngin pulang, tapi Inah menahanku malam ini. Inah
berkata padaku biar dia yang bilang pada ayahku besok pagi bahwa aku menginap
di rumahnya malam ini. Tapi, aku takut ayahku marah karean aku belum ijin padanya.
Bimbang semakin bertambah dalam hatiku, memuncakkan rasa takutku untuk pulang
ke rumah. Memupuskan semangatku tuk pergi dari kampung ini malam ini.
Jendela kamar Inah masih terbuka lebar dengan semilirnya yang sejuk
mengantarkan desahan pantai yang pulas bergesekan dengan pasir-pasir yang
lembut. Entah mengapa, aku mendengar suara yang tak asing bagiku. Suara yang
selalu membuatku teringat waktuku kecil berada di pinggir pantai, bermain
bersama, berceloteh-celoteh yang tak tahu maksud dan artinya, belajar bersama,
menikmati waktu bersama. Aku kenal orang yang punya suara ini. Suara yang
membuatku selalu merasa diperhatikan walaupun kami sering tersipu malu dan
hanya melayangkan senyum ketika bertemu atau tak sengaja bertemu.
Ya, suara lelaki itu, itu suara Pardjo, kekasihku yang telah lama
merantau di negeri orang. Suara yang telah lama tak ku dengar. Suara itu
membuatku semangat lagi. Ku cari asal suara itu terdengar, ku coba dengarkan
sayup-sayup lewat jendela. Tak sabar, kucari keluar lewat pintu depan rumah
Inah, ku turut asal suara itu sampai jelas. Ku susur jalan setapak menuju
pelabuhan, dimana Pardjo biasanya membersihkan sampannya sebelum beranjak
pulang. Terlihat dari kejauhan sosok tinggi besar berada di atas sampan itu.
Sampan Pardjo. Apakah itu dia? Rasa penasaran menyelimuti hatiku.Rasa ingin
tahuku bertambah besar, kemudian diam karena lelaki itu menyapaku dari kejauhan
yang berarti dia tahu kehadiranku.
”Apa yang kau lakukan disana? Tak merasa dinginkah kau itu Mun?”
tanyanya dari kejauhan di atas sampan.
”Apakah kau Pardjo?” tanyaku sambil berteriak.
”Iya, ini aku Pardjo!’ jawabnya tegas.
Ah, mencair sudah kerinduanku yang beku selama berbulan-bulan. Akhirnya
aku menemukan kembali sinar cerah diwajahku yang terurai dari binar-binar
mataku yang meneteskan buliran-buliran perasaan sambil tersenyum senang dalam
hati lewat senyum dibibirku yang basah.
Dingin semakin merasuk kulitku yang tipis, tersentak ku dalam lamunanku
yang indah walau hanya sebentar saja. Dan aku masih saja gamang yang mendalam
dalam rinduku yang ungu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri komentar ya setelah baca atau hanya melihat aja.... thanks