Cintaku Berbatas Antara Sungai Ciliwung dan Kali Brantas
Oleh: Ahmad Sayuthy Al Malik, S.Pd
Oleh: Ahmad Sayuthy Al Malik, S.Pd
Sebulan sejak
kejadian malam itu aku terus saja membayangkan wajahnya. Diantara semak belukar
bergandengan rerumputan yang membijuk hijau warna kesukaan mereka yang merekah
dibalut sunyinya desahan rindu yang mendalam dari lubuk kalbu.
“Mengapa semua
ini bisa terjadi di luar keinginanku? Kenapa Tuhan? Kenapa? Apakah engkau sudah
menuliskannya dalam buku harianku yang tak pernah ku tahu ke arah mana aku
berjalan dan bertemu?” teriakku dalam batin.
Semasa hidup ku
tak pernah merasakan rindu akan cintaku yang mendalam ini lama-kelamaan berubah
menjadi ungu. Ya, jauh sekali diantara dua dari tiga sungai besar yang melewati
dan memisahkan beberapa daerah dari pulau yang kami tempati, aku berada pada
daerah yang jauh berada di timur dan berbatasan langsung dengan samudra,
sedangkan Pardjo berada di daerah barat yang sarat dengan semuanya.
Ingin sekali
aku melayang menuju tempatnya singgah, barangkali dia juga rindu padaku kali
ini. Tapi entah apa yang dilakukannya hari ini, apakah dia sempat memikirkan
aku di sini.
Sesak yang aku
rasakan ketika kata-kata itu terlintas dalam batinku dan sempat aku
memikirkannya. Ya apa dia ingat padaku di sini. Apakah dia juga sempat
merasakan rindu yang mendalam seperti ini dalam hatinya. Aku tak tahu lagi
harus bagaimana, apakah aku harus menyusulnya juga ke kota
itu, kota yang
menurut orang menjanjikan semuanya bagi kelangsungan hidup.
Sebentar, aku
merasakan ada hal lain yang menganjal dalam hati, aku terlupa akan suatui hal,
yak au sejenak melupakan bahwa ada sesuatu yang sangat besar menantiku di luar sana. Ya hal yang
membuatku ingin kabur dari rumah dan meninggalkan desa ini, Desa Ombak Berbuih,
desa kenangan seribu kenangan. Desa dimana kisah ini berawal dan akan berakhir
disini juga. Desa yang melahirkan hal yang harus membuat ku menjawab dengan
sejuta kegundahan hati, jawaban dari sebuah pinangan anak saudagar kaya teman
ayahku.
Pusing aku
merasakan hal itu, terbakar rasa hati ketika teringat kembali kan masa lalu dan masalah itu muncul
bertepatan dengan tumbuhnya cintaku pada lelaki yang membuatku rindu itu. Tapi
apakah akau menjadi anak yang baik menurut ayahku ketika aku menolak pinangan
itu.
Tok, tok, tok,
terdengar suara di pintu kamarku. Inah menerobos masuk dengan senyumnya yang
khas.
“Mun, sedang
apa kau di sini? Tidak ingin jalan-jalan? Apa kau ingin sampai mati berada di
kamar terus?” gerutu Inah sambil berjalan.
“Ada apa kau kesini Nah,
tidak biasanya pagi-pagi kau kesini? Mau minta makan ya?” sahutku sambil
tertawa.
Pecah sudah
tawa kami berdua di kamarku yang hanya 3,5 x 3 meter ini. Dan kami bersiap-siap
pergi berjalan-jalan di pinggiran pantai yang dimiliki desa kami ini. Aku
mematut-matut diriku di depan cermin, sedangkan Inah sedang sibuk sendiri mencari
makanan-makanan kecil di laci kamarku. Hal itu yang tak bisa lepas dari diri
Inah, sepupuku yang bisa membuatku tertawa sampai terharu.
Sampailah kami
pada suasana hening yang terekam saat ini. Inah menyuguhiku sebuah surat dalam amplop biru
berstempel ibukota. Aku diam sejenak tak percaya pada apa yang ku lihat. Surat dari lelakiku yang nun jauh di sana.
Segera ku baca surat itu pelan-pelan
dengan perasaan yang sungguh-sungguh senang. Inah segera keluar setelah ia
menemukan sebungkus krupuk berwarna merah di laciku dan kemudian dnean
senyumnya dia meninggalkanku yang sedang asyik membaca surat dari lelakiku.
Oh, lepas sudah
dahaga rinduku kala ku baca untaian-untaian kalimat yang senandung sendu dalam
kalbu. Pilar-pilar cintaku semakin menguat membuncah rinduku yang amat dalam.
*****
Tiada batas
bagiku ketika mula-mula ia mengirim surat
tuk yang kedua kalinya selama 6 bulan terakhir ini. Aku tersentak betapa ia
masih ingat padaku dan aku pun bersyukur karena ia mendengarkan kerinduanku
ini.
Debur ombak
masih saja mengalun tentram di hati bak
mutiara di dasar kalbu berirama simfoni bianglala yang membias mentari hangat.
Anginpun berlalu dengan mengarak awan menyimpulkan senyum, burung-burung
camarpun bernyanyi dengan cicitannya yang khas menyapaku dengan riang di hari
yang gemilang.
Inah dan Umam
terlihat di kejauhan berduaan bak merpati sedang asyik bercumbu berjalan mendekati
dimana aku menikmati suasana senja nan elok.
Ya, aku
menikmati sekali karena pupus rinduku sudah mengembang menjadi daun-daun rindu
yang hijau dan siap berfotosintesis untuk menunjang bunga kasih sayang dan
menghasilkan buah-buah cinta yangtak pernah habis rasa manisnya bagi lelakiku
yang nun jauh di negeri seberang. Pohon kelapa bergeming melihatku tersenyum
sendiri di bawahnya, adakah yang salah dnegan senyumku?
“Mun!” hardik
Inah dan Umam di sampingku.
“Ah, kalian
mengagetkanku saja. Kenapa kalian kesini? Mau mencarikanku suasana yang
menyenangkan?” tanyaku dengan tersenyum.
“Ndak, kenapa
aku harus mencarikanmu suasana yang bagus, bukannya kau tersenyum-senyum
sendiri dari tadi. Ku kira kau kemasukan Jin pohon kelapa” sahut Inah.
“Bukan Nah, dia
bukan kerasukan Jin pohon kelapa, tetapi kemasukan Jin penguhuni pelabuhan ini”
tambah Umam.
“Enak saja,
mana ada Jin yang mau merasukiku, kecuali kalau mau memberikanku kembang
teratai” jawabku pada mereka berdua.
Pecah sudah
tawa kami bertiga bercampur dengan deburan ombak yang dahsyat, cair sudah
segala rasa kami bertiga dalam suasana yang hangat.
Sang Raja Siang
sudah mulai beranjak keperaduannya, suara ringikan jangkrik dan temannya pun
sudah terdengar syahdu mengantar kepekatan yang perlahan mengantikan keriuhan,
hanya deburan ombak yang tersisa dengan siulan angina yang senantiasa
menimang-nimang gelombang samudra.
Suara adzan pun
terdnegar sayup-sayup dari kejauhan dan itu menandakan bahwa kami harus segera
pulang dan bergegas mengahadap pada Sang Ilahi.
Kami bertiga
berjalan sambil bergurau meskipun sebenarnya tidak baik untuk bergurau. Tetap
saja kami bergurau sampai pada halaman depan rumahku. Lambailah tangan mereka
padaku sambil berpamitan Umam dan Inah, kemudian aku masuk dan mendapati ayahku
sedang siap-siap ingin berankat ke langgar belakang rumahku, aku pun segera
menyusulnya beberapa menit kemudian.
Jam pun
berdentang ketika jarum jam menunjukkan pukul 06.00 malam, menandakan waktu
sudah benar-benar pekat. Tak lama berselang terdengarlah sayup-sayup suara
biduan dari kejauhan. Teringatku dalam sekejap ketika ku melihat lelakiku
tengadah dengan tali di tangannya dengan kulitnya yang hutam legam terkena
sengatan matahari. Buliran bening tiba-tiba menetes dengan cepat tanpa kusadari
ku baca lagi kabar dari angin.
“Apakah dia kan datang hari ini?”
tanyaku dalam batin.
Bergelimang
sudah air mata ini tak mungkin ia kan
dating hari ini. Ku buka lagi lembaran surat
yang pertama, ku baca lagi surat
yang kedua. Sejenak terpikir bahwa bahasa yang dipakai kekasihku itu sama,
tetapi akulebih mengenal tulisan pada surat yang
pertama ketimbang surat
yang kedua. Terbesit dalam hati pertanyaan yang mustahil.
“Kenapa
tulisannya berbeda ataukah orang yang mengirim surat ini berbeda?” pikirku tajam.
“Mun, sedang
apa kau di dalam? Buatkan ayah kopi.” Teriak ayah dari ruang tamu.
“Ya, ayah,
sebentar akau masih merapikan baju” sahutku cepat sambil menyelipkan surat itu di sakuku.
Secepatnya ku
membuatkan kopi untuk ayah, berharap setelah itu ku bisa ke rumah Inah tuk
mencari tahu kebenaran antara dua surat
yang ku terima ini. Segera ku suguhkan pada Ayah kopi yang masih panas. Segera
berpamitanku pada beliau dengan alasan mengambil bajuku yang dipinjam Inah dua
hari yang lalu. Ayah mengangguk, aku pun segera pergi dan berjalan menuju rumah
Inah.
Hanya ada satu
jalan ke rumah Inah setelah melewati pelabuhan, jalan dimana ku melihat senyum
simpul dari Pardjo ketika tak sengaja ku menoleh padanya siang itu. Jalan yang
menambah volume cintaku padanya, jalan yang membawaku tuk melihat betapa
beratnya malam itu, jalan yang meninggalkan suasana mengharukan dalam hidupku
yang berbuah kesepian dan kerinduan yang mendalam tatkla surat itu datang padaku tuk pertama kalinya.
Ku percepat
langkahku menuju halaman rumah Inah. Terdengar jelas suara lagu keroncong khas
kesukaan paman dan bibiku, tak beda jauh dengan Inah, dia juga simpatik
terhadap lagu langgam Jawa asli sama sepertiku, karena lagu-lagu itu sangat
dekat dengan suasana hati kami berdua yang sedang dimabuk cinta dan kegalauan
yang hebat.
Ku ucapkan
salam pada pamanku yang berada di ruangtamu dan paman mempersilahkanku masuk.
Ternyata Inah masih berada di dapur tuk membuat teh hangat bagi dirinya. Segera
saja ku hampiri Inah dan ku bisiki di telinga kirinya tuk segera masuk ke
kamar.
“Aku ingin
menunjukkan sesuatu padamu” bisikku lirih.
Rupanya Inah
mengerti maksud pembicaraanku dengan menganggukkan kepalanya.
Aku dan Inah
sudah berada dalam kamar Inah yang hangat, ku keluarkan surat tadi dalam balutan kain merah dalam
sakuku. Ku tunjukkan keduanya, Inah pun mengernyitkan dahinya dan mencoba
menangkap maksud yang kusampaikan. Ia masih bingung kemudian bertanya.
“Apa maksudmu
menunjukkanku surat-surat ini? Kau ingin aku membacanya?” Tanya Inah.
“Tidak, coba
perhatikan tulisannya, ada yang berubah, sehingga aku bertanya-tanya kenapa
tulisannya tidak sama sedangkan bahasa yang dipakainya sama.” Jawabku pada Inah.
Inah kembali
meneliti tulisan antara kedua surat
itu dan masih belum mengerti maksudku.
“Apanya yang
berbeda, wong sama seperti ini, kok dibilang beda. Aneh kamu Mun!” sahutnya.
“Ah, coba
perhatikan beberapa huruf yang tidak sama, dari situlah aku bertanya” jawabku
sigap sambil menunjukkan huruf mana yang ditulis berbeda.
“Oh, iya,
sekarang aku mengerti, maksudmu, kau pasti berpikir bahwa yang mengirim bukan
Pardjo kan?”
perjelas Inah padaku.
“Ya, karena itu
aku datang kesini, karena engaku yang menerima surat ini terlebih dahulu dan kemudian kau
berikan padaku tadi pagi” sahutku.
“Ya, aku juga
tidak mengerti, karena yang menerima surat
ini pertama kali juga bukan aku, melainkan ibuku. Coba aku tanyakan sebentar
pada ibu.” sahut Inah sambil beranjak meninggalkanku.
Tinggal aku
sendiri dalam kamar dengan dua surat
yang berbeda. Terbesit dalam hati kerinduan yang terbayarkan dengan senang
kemudian berubah menjadi kejanggalan yang mendalam dalam benakku.
Ku buka
jendela, hawa dingin masuk menusuk kulitku yang tipis, dingin terasa sejuk
dalam hati yang kalut. Sejenak ku teringat pada senyumnya yang meriah yang
membuatku tergoda dan merasakan buaian cinta yang mengalir deras ke lubuk hati
yang dangkal.
Sudut bibir
yang menarik, lesung pipit yang mengapit keduanya, menunjukkan senyumnya yang
merekah, manis terasa dalam pandangan mata, sorot matanya yang tajam di bawah
alis yangtebal dan bulu mata yang lentik membuatku tidak bisa bergerak lagi,
hidungnya yang mancung dan kulitnya yang kuning kecoklatan terlihat tampan di
wajahnya membuatku jatuh cinta padanya untuk pertama kalinya dalam hidupku dan
untuk selamanya.
Rasa itu
menyeruak dari dalam batin, dahaga terasa, rindupun muncul bertubi-tubi dan
tetap tertahan dalam kekosongan saat ku tatap lagi surat yang kedua itu.
“Mun, ternyat
ibuku dapat dari tukang pos dua hari yang lalu, kemudian ibu berikan padaku
karena ditujukan kepadaku, sebelum itu ibu membuka surat itu, karena takut
kalau aku dapat surat dari seseorang, ternyata setelah ibu buka, hanya da pesan
di atas suratmu itu untuk ku berikan padamu” jelas Indah sedari ibunya.
Aku pun
terperangah mendnegar penjelasan itu. Aku menangkap ada sesuatu di balik surat itu. Inah pun
menguraikan, mungkin Pardjo sengaja mengirim surat
itu padaku, Karena jika surat
itu ditujukan kepadamu, maka tidak akan pernah sampai ke tanganmu, lantaran
ditahan oleh ayahmu, mungkin juga dibakar atau dibuang.
“Ya, aku piker
juga demikian, betul katamu itu Nah” sahutku sambil tersenyum, meskipun dalam
hati masih bertanya-tanya ada apa di balik ini semua.
Setelah satu
jam berada di rumah Inah, aku kembali pulang, takut ayahku mencariku nanti.
Berpamitan ku pada paman dan bibi juga Inah. Berjalan kembali ku menyusuri
jalan dimana kenangan itu kembali terlintas. Tak sadar kuberhenti dan terpaku
dengan keadaan. Malam ini malam bulan purnama. Persis malam yang 8 bulan lalu
ku melihat lelaki menengadah pada Tuhan di atas sana sambil melontarkan ceracahnya meminta
keadilan dan jawaban atas semuanya. Semilir angin membawaku pada suasana hening
malam itu ketika hanya suara biduan yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan
diiringi deburan ombak dan bunyi perahu-perahu yang berhimpitan. Saat itu aku
tidak hanya mendengarkan, juga merasakan, dan tahu apa artinya kehilangan dan
ditinggal orang yang kita sayangi. Sakit, sesak menghujam dadaku sangat.
Meleleh sudah air mata ini melewati kelokan sudut-sudut mata dan mengalir deras
menuruni wajahku yang dingin tersapu angina. Hangat terasa, sesak di dada
membuatku meneruskan langkah dan meninggalkan kenangan dalam pekatnya malam.
Lima meter lagi, rumahku
dapat ku gapai, secepat mungkin air mata ini ku hapus, malu aku jika ada
tetangga lai yang melihat. Biar aku sendiri yang tahu dan mengerti apa yang
kurasakan.
Malam semakin
pekat, pintu rumah sudah ku pegang, segera ku buka dan ku dapati ayahku masih
asik menghisap rokoknya sambil membaca sebuah buku berjudul “Sabana” bersampul
warna hijau. Ku ucapkan salam kemudian masuk dan menuju pintu kamarku. Tapi ada
yang tidak enak timbul dalam hati. Ku pandang ayahku, dan mencoba menangkap
sesuatu yang tidak biasa berada di dekatnya.
Kosong, tidak
ada sesuatu yang berubah, hanya perasaanku saja yang terbawa saat pulang di
jalan itu. Ku buka pintu kamarku dan astaga, terperanjat ku melihat kado warna
merah berbentuk kotak berhias pita merah muda menambah aksen romantis ketika
seseorang melihatnya. Bagiku bukan hal romantos kali ini yang terjadi melainkan
hal yang mencurigakan bagiku.
Tersentak ku
dalam sekejap ketika ayah memanggilku dalam keadaan yang begitu tidak biasa bagiku.
“Mun, kado
dalam kamarmu itu, ayah yang menaruhnya, itu pemberian dari anak saudagar teman
ayah, ayo segera buka kado itu, mungkin ada sesuatu untukmu” ucap ayah.
“Ya, ayah”
sahutku pelan.
Segera saja ku
buka kado itu, isinya berupa selembar kain berwarna merah dipadu dengan motif
bunga dan manik-manik hitam serta kainnya yang halus dan dingin menambah
mahalnya hadiah ini untukku. Sejenak hatiku senang, tapi beberapa waktu
kemudian aku berpikir bertapa senangnya aku jika yang memberiku ini adalah Pardjo,
lelaki yang kucintai yang bisa membuat pipiku merona laiknya bunga sakura yang
tidak pernah ku tahu bentuknya.
*****
Tak lama
kemudian ku tutup kado itu rapat-rapat dan kurapikan lalu kuletakkan di atas
lemari pakaian. Malas ku menerima kado itu.
“Mun, bagaimana
isinya, bagus?” tanya ayah dari luar.
“Ya, Ayah,
bagus sekali” jawabku sambil mengernyitkan dahiku.
Andai saja yang
memeberikan kado itu adalah dia, pasti sudah ku peluk erat dank u timang-timang
menahbiskan kerinduan. Saying, cintaku berbatas antara sungai Ciliwung dan kali
Brantas.
Setelah sekian
lama menanti, tak kunjung jua surat yang ku tunggu-tunggu dating padaku. Tapi,
penantianku musnah sudah seketiaka dua surat dating bersamaan pagi-pagi saat ku
sendiri sedang asyik memasak dan ayah sedang melaut. Pak pos dating membawa
surat dalam balutan amplop berwarna hijau muda dan merah tua. Hatiku pun
berdetak, karena stempelnya dari kota yang sama yakni ibukota.
“Apakah ada dua
orang di sana yang tahu dan mengerti isi hatiku sekarang” tanyaku dalam batin.
Segera saja ku
tanda tangani lembar disposal tuk menandakan bahwa surat telah diterima oleh
yang bersangkutan.
Tak lama
berselang, aku lipat dua surat itu dan menaruhnya dalam saku. Masak ku
selesaikan, mandi, dan berganti pakaian. Heran yang terasa dalam hati menjadi
getir ketika ku buka surat yang beramplop merah tua. Kaget, bukan main,
tersentak ku dalam kegamangan. Edi Baskoro, nama yang tidak pernah ku dengar
kali ini ia mengirimkan surat yang berisi ajakan menikah dengannya bulan depan.
Hah, mana mungkin aku mau menikah dengan orang yang tidak ku kenal. Apalagi
cinta! Kembali ia menjelaskan dalam surat itu, bahwa dialah yang mengirimkan
surat sebelumnya, dan mengapa ia mengirimkannya, lantaran ia ingin membaca
balasan surat dariku yang tak kunjung ku balas hingga sekarang.
Sekarang ku
tahu maksudnya, dia ingin melamarku dengan memberikan hadiah 17 hari yang lalu.
Tidak segampang itu Edi meminangku, aku tidak suka kau, pikirku dalam batin,
segera ku tamatkan dan kutaruh di atas meja kamarku. Ku buka surat yang kedua,
surat yang tidak ku sangka kedatangannya. Surat yang mencairkan kerinduanku.
Surat dari lelakiku Pardjo. Ia menerangkan bahwa ia di ibukota bekerja sebagai
buruh di perusahaan konveksi. Ia bekerja sebagai pengatur order karena kejujurannya
dalam bekerja. Alangkah bahagianya diriku. Mencair sudah rinduku yang beku,
menguap disambut hangat cinta menimbulkan aurora di kutub-kutub rinduku dalam
hati, melayang sudah diriku dalam asa yang dapat segera ku gapai.
Tak ku teruskan
pembacaanku pada surat itu, karena sudah terlampau senang dan melupakan
semuanya. Bak putri baginda-permaisuri yang hendak di pinang oleh pangeran
berkuda putih dari negeri seberang, tak ayal ku merasa seperti bidadari yang
mempunyai magic di negeri dongeng. Oh, betapa senangnya hatiku, keluar dari
rumah, menari-nari di halaman sambil mengenggam surat itu. Ku sapa semua orang
yang melihat dan melintas di halaman rumahku. Mereka heran mengapa aku
bertingkah seperti ini. Terbesit dalam hati, biarkan saja aku seperti ini,
inilah rasa yang terpendam selama delapan bulan tujuh belas hari dalam
kegamangan. Apakah mereka tidak pernah muda dan merasakan hal ini. Tertawa saja
aku dengan senyuman yang merekah. Berlari menuju pantai, membaur dengan semilir
angin dan riuhnya debur ombak diiringi oleh celoteh camar yang melihatku riang.
Pagi yang gemilang.
Tak sadar dalam
keindahan, aku lupa bahwa air di kamar mandi belum sempat aku matikan dan
sekarang meluber kemana-mana termasuk dapur, ruang tamu, dan sedikit masuk ke
kamarku dan kamar ayahku. Astaga. Tetangggaku meneriakiku akan hal itu. Kaget.
Aku segera berlari mendapati kamar mandi sudah penuh dengan air setinggi mata
kaki yang sudah melahap separuh lantai rumahku. Cepat-cepat ku matikan dan
membuang airnya keluar rumah. Tak sempat lagi ku teruskan membaca surat karena
panic dan omelan yang terus menerus datang dari tetangga sebelah rumahku. Sedih
dan senang bercampur jadi satu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11.00,
berarti sudah 2 jam aku membersihkan rumah dari genangan air yang tak kunjung
kering. Pagal rasanya pada pundak dan kakiku.
Istirahat
sebentar saja sambil meneruskan kembali surat dari kekasihku itu. Sejenak
terbayang ia datang padaku dengan memakai kemeja hijau putih kotak-kotak
bergaris hitam dengan celana jeans hitam, sepatu kulit sambil membawa bunga
mawar kuning kesukaanku. Ia dating dengan senyumannya yang khas dan sinar
matanya yang membuatku tak bias berkutik. Lesung pipinya membuatnya semakin
tampan, ia tak lagi hitam seperti delapan bulan tujuh belas hari yang lalu, ia
semakin kuning dan bersih dengan rambutnya yang ikal itu. Ia tetap memandangku
tanpa sedetik pun mengubah pandangannya. Aku tersipu malu meskipun dalam hati
senang, buliran cinta mengalun gendang sukma menyampaikan getarnya pada pipiku
yang mulai merona laiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya. Ia
tersenyum, kali ini giginya yang rapi terlihat sedikit, semakin malu aku
dipandangnya. Jam dinding di tembok tiba-tiba berdentang dengan keras, pecah
sudah lamunanku dalam sesaat, dan pardjo lenyap begitu saja dalam pandanganku.
Ah, ternyata aku terbawa mimpi selam
kurang lebih tiga puluh menit. Sedih terasa. Coba jam bias mengerti aku yang
sedang merajuk dalam mimpi, mungkin saja aku tidak akan memaki-maki jam itu
seperti orang gila. Tapi, ia tidak pernah bias mengerti keadaan orang
disekelilingnya. Ia hanya tahu ketika jari-jarinya menunjuk waktu 11.30, maka
ia akan berteriak dua kali dengan keras, itu menandakan bahwa matahari sudah
hampir di titik nol di atas bumi.
Ya sudahlah,
segera ku lihat isi rumahku, apakah air sudah kering. Ternyata masih menyisakan
sedikit genangan di bawah rak piring, tak apalah ketimbang tadi.
Surat ku simpan
kembali dalam saku, kali ini aku akan menyimpannya dengan baik dan membalasanya
tanpa diketahui ayahku. Aku ke kamar mandi dan mengambil air wudhu karena adzan
sudah dikumandangkan, rukuh ku ambil dalam lemari dan segera bersujud syukur ku
pada Tuhan yang telah mengabulkan semua doaku. Laksan taman syurga yang hijau
dan luas, beraneka ragam hayati dan burung-burung bersahutan , beralaskan
permadani. Ku rasakan kebesaranNya dalam hati. Sejenak ku berdoa setelah
melaksanakan rukun di Langgar belakang rumah.
Setelah selesai
memohon ampun dan berdoa pada Ilahi, ku persiapkan semuanya dengan rapi. Setelah
itu ku raih lagi surat yang kumasukkan dalam saku rok merahku tadi. Ku baca
lagi dari awal dengan senyuman dalam hati dan dibibir, sungguh mengejutkan
mengetahui bahwa kado merah tujuh belas hari yang lalu adalah hadiah dari
Pardjo, lelakiku itu. Ia mengirimkan dengan hanya menulis inisial “P” saja yang
membuatku bertanya-tanya kado itu dari siapa.
Lengkap sudah
kegembiraanku kali ini. Hari-hari terasa sangat menyenangkan bagiku. Dan kami
berdua saling berbalas surat yang kami terima setiap seminggu sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri komentar ya setelah baca atau hanya melihat aja.... thanks