Lelaki
Itu Bernama Pardjo
Oleh: Ahmad Sayuthie Al-Malik, S.Pd
Temaram senja
menggelayut menyelimuti bibir tanjung yang penuh sampan. Sang surya telah
berpeluh meniti jejak ke lapaknya. Embun mengabut senja menutupi sebagian
pantai dengan heningnya. Samar-samar suara biduan terdengar dari kejauhan.
Tampak bayang hitam menengadah dalam pelukan kabut. Seperti kaku tak bernyawa
tapi menitikkan air mata mata air keringat seharian menggoda lidah samudra
dengan sampan dan jaring-jaringnya yang kusut dan amis. Seorang lelaki sedang
meninggikan tengadahnya pada rembulan yang baru terjaga dari haribaannya
berwajah pucat pasi.
“Aku harus bagaimana
lagi Yang Maha Agung?” teriaknya sambil meringis menahan berisik pikiran dan
degup jantungnya.
Kelabu semakin pekat
dengan sifatnya. Lelaki itu masih saja meneguhkan dagunya pada langit-langit
dan bintang-bintang nan indah di pekatnya malam. Masih terdengar samar-samar
suara biduan dari kejauhan melebur dengan siulan angin pelabuhan kampung
nelayan. Stagnan, itu yang tampak pada senyuman rembulan. Jaring-jaringnya ia rapikan supaya ketika
menggoda lidah samudra ia tak kesulitan dan ikan-ikan yang ia tangkap menari
riang. Tapi musim sedang tak menentu, angin tak berpihak padanya. Samudra pun
acuh dengan kedatangannya.
Masih saja terlihat
dagu itu tertegun menengadah mengarah rembulan dan kerlip bintang. Lelaki itu
menitikkan air mata mata air keringat yang meluncur deras dari hulu kanan-kiri
mata menuju hilir sudut bibir yang kering tersapu angin. Gemeretak terdengar
jelas diantara sampan-sampan yang tertata rapi seperti murid yang sedang
mendapat pelajaran baris-berbaris sewaktu jaman kompeni enam puluh lima tahun silam. Tapi,
bukan itu yang ingin ia dengar. Bukan pula debur ombak mencium garangnya
karang. Tidak juga suara biduan yang melebur dari kejauhan.
Pucuk-pucuk kelapa
mendendangkan nyiurnya menari bersama deburan ombak yang terasa manis bagai
ikan-ikan teri yang miris seperti tubuhnya yang teriris. Lelaki paruh baya itu
berjalan keluar dari selimut tebal kabutnya. Terlihat legam kulit membalut
kerasnya tulang dan kuatnya urat nadi dalam pekatnya malam. Serak suara parau
burung rangkong melintas di atasnya. Bergegas ia perlahan meninggalkan jejaknya
di derit-derit lapak sampan dan pelabuhan tempat ia menegadahkan dagunya pada
Yang Agung. Ia menghilang di balik
pekatnya malam meniti jalan menangkap suara biduan yang terdengar samar dari
kejauhan.
Debur ombak mengelus
bibir pantai dengan mesranya, kampung nelayan mulai riuh sejak angin berhembus
ke barat. Anak-anak dan ibunya bermain bersama di dekat pantai dan pohon
kelapa. Seperti pertanda baik untuk melaut hari ini. Tapi tak terlihat lelaki
yang tadi malam menengadahkan dagunya pada rembulan. Tak terlihat juga sampan
yang ia kaitkan pada kayu di pinggir pelabuhan. Kemana ia pergi? Semua terlihat
riuh dengan sampannya masing-masing. Semua keluarga mengiringi suami dan ayahnya
melaut mencari nafkah buat mereka. Dengan melambaikan tangan dan jemari yang
lentik serta berbaur dengan tangisan dan ringkihan anak-anak mereka.
“Separang taru berkurulan, darba harma tahi bato” tutur lelaki
kepada saudaranya yang kebetulan bukan asli penduduk kampung nelayan.
Aku tak paham artinya,
yang terpikir adalah ucapan salam ketika ingin melaut. Debur ombak menari-nari
seraya memanggil-manggil para nelayan untuk bergabung dengan birunya samudra.
Ku picingkan mataku ke
birunya laut, pelan-pelan ku perhatikan dengan harapan melihat laki-laki itu,
rambutku yang terurai sebentar-sebentar menitipkan pesan lewat pekatnya bau
pelabuhan. Ku berdegub, ketika ku melihat sosok yang tak asing dari pandanganku.
Ya, dia lelaki itu. Lelaki yang menengadahkan dagunya pada rembulan. Tapi ,
kenapa dia berada di atas sauh yang bukan sampannya. Kemana sampan yang selalu
menemaninya ketika bergelut dengan gelombang laut.
Pertanyaan-pertanyaan
itu masih saja terus berkelip-kelip di dalam kepalaku yang panas tersengat
paraunya pelita surya. Rambutku masih saja memekikkan pesan yang tersambung
lewat nyiurnya daun kelapa dan deburnya ombak. Lelaki itu terlihat kusut. Aku
tak berani menatapnya terlalu lama. Entah kenapa, perasaanku mengatakan
demikian. Lelaki yang malam itu diselimuti kabut, sama dengan lelaki yang lima tahun silam
memberikan bunga flamboyan di depan sampan di dekat pelabuhan. Ya, lelaki yang
membuatku terpesona dengan kegigihannya. Lelaki yang membuatku tersenyum ketika
merana. Aku, perempuan yang tak ingin menjalin kasih dengan lelaki yang
pengecut harus tunduk pada lelaki yang membesarkanku dirumah yang tak jauh dari
laut. Ayahku tepatnya.
Masih saja terpekik
suara raungan samudra. Lelaki itu bergerak menuju sisi pelabuhan, membawa
jaring untuk mencari nafkahnya diantara buih-buih asin laut. Lelaki itu
melayangkan senyum simpulnya ke arah dimana aku berdiri. Tanpa sadar akupun membalasnya.
Ah, betapa nikmat melayangkan senyum meskipun jauh dipandang mata.
Gelembung-gelembung kasih seraya berbaur dengan deru gelombang-gelombang asmara yang tergugah dari
dasar samudra batinku. Pipiku merona selaiknya bunga sakura yang tak pernah
kutahu bentuknya.
Ikan-ikan bertaburan
dalam hamparan biru gelombang keputihan, anak-anak kecil gembira ria bermain
pasir di pinggir pantai, jari-jemari kelapa melambai-lambaikan nyiurnya, riuh
suara burung camar mencicit di tingginya langit, debur ombak bertemu kokohnya
karang menciptakan alunan genderang yang mengagumkan menandakan perang dengan
lautan bagi para nelayan.
Te kate lambo nan aluih
la ngan karsa di mato
tak bertuak tuahnya
buih-buih nan
berselayang caya
le
tango de dan beta layato
Alunan merdu itu seraya
ku dengar sayup-sayup dari para tetua kampung ini. Aku juga menyanyikannya
dengan hati-hati, sebab aku tak ingin lelaki itu mendapat musibah nantinya dan
mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Aku menitikkan air mataku ketika
teringat hal yang sama dua tahun lalu. Aku masih berdiri di tempat yang sama.
Di balik pohon kelapa yang menjulang tinggi diatasku, berada lima belas meter jauhnya dari sisi pelabuhan
dimana lelaki itu melayangkan senyum
yang sama hangatnya padaku sore itu. Ah, aku tak pantas
menangis, aku malu pada burung camar yang senantiasa mencicit di bawah megahnya
langit kampung nelayan ini.
Ya, sudah lima tahun aku memendam
perasaan ini pada sosok lelaki yang sama yang bisa membuat pipiku merona
laiknya bunga sakura di musim bunga yang tak pernah ku tahu bentuknya. Dalam
diriku ada sungai yang mengalir dan terus berputar layaknnya ombak yang
bergulung-gulung membentuk sentuhan-sentuhan alami, jantungku berdetak, was-was
perasaanku timbul tenggelam, hatiku bergemuruh, tak kuasa menahan getir perasaan
ketika di tinggal mencari nafkah di balik buih gelombang lautan. “Akankah kau
kembali padaku?” kata-kata itu yang sering kali muncul di pikiranku melalui
saraf-saraf yang mengantarkan listrik dari hati yang gundah untuk diterjemahkan
dalam kata-kata seperti itu.
Sudah lama sekali aku
menunggu untuk dipinang oleh lelaki itu, tapi apa dia juga merasa seperti yang
aku rasa. Aku berbicara sendiri di bawah daun pohon yang lambai. Tiba-tiba
suara yang tak asing bagiku terdengar menggelegar seperti petir di kala badai datang
dalam memoriku.
Ayahku, ya itu suara
ayahku, ayah yang tak pernah mau mengerti isi hatiku, ayah yang tak pernah
mengerti keinginanku, ayah yang selalu memaksakan kehendaknya hanya dengan
dalih “supaya masa depanmu cerah nanti, terimalah pinangan anak saudagar kaya
itu”.
Cuih, ingin memaki
rasanya, sesak dada ini mendengar kata-kata itu setiap hari. Ingin ku berontak
lari dari rumah menyusuri pantai dan berseloroh sekencang-kencangnya sampai
bunyi gema amarahku terdengar sampai tengah lautan.
Aku Siti Maimunah binti
Parmin, gadis yang selalu dikekang kehidupannya oleh ayah kandungku sendiri.
Dan lelaki itu, lelaki dengan sampan dan jala lusuh ditangannya adalah lelaki
yang mempunyai nama manis semanis senyumnya yang bisa membuat pipiku merona
laiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya. Ya, lelaki itu bernama
Pardjo, Supardjo bin Sutaji, anak dari orang yang paling pojok rumahnya di kampung
ini. Lelaki yang sedari masa kanak-kanak selalu membuat riang hatiku dikala aku
dilanda sedih.
Dulu, sewaktu kami
masih kecil, kami sering bermain bersama dengan teman sebaya kami ketika fajar
menyingsing dari garis jauh samudra diantara awan-awan kelabu. Bermain
buih-buih ombak yang bergelembung diantara pasir putih yang tertata seperti
permadani. Kawan laki-lakiku berlomba memanjat pohon kelapa untuk memetik
buahnya, kawan-kawa perempuanku serta aku sibuk mencari gula merah dan es batu
untuk menyambut kelap muda yang diterbangkan dari pucuk-pucuk kelapa. Senangnya
hati kami, setelah semuanya siap, kami berebutan untuk segera menyantap
hidangan yang segar dan manis. Dahaga yang terbayarkan untuk setiap detil
tegukan air kelapa muda yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Hanya sebatas
ungkapan ‘lega’ disertai seloroh-seloroh lucu anak kecil seusia kami.
“Mun, janganlah kau
dekat-dekat ombak itu!” teriak Pardjo sambil duduk disebuah batu karang di
pinggir pelabuhan.
Aku diam saja, karena
aku merasa diperhatikan oleh seorang lelaki yang senyumnya manis. Aku merasa
senang sekali.
“Jo, ada kapal datang,
kelihatannya ayahmu yang melambaikan tangan itu, lihatlah Jo!” teriak Umam di
tengah-tengah pohon kelapa yang baru saja ia panjat itu.
“Mam, itu bukan ayahku,
melainkan ayahnya si Mumun” balas Pardjo dari bawah.
“Mun, itu ayahmu,
melambaikan tangan padamu, cepatlah kesana barangkali ayahmu membawakan ikan
kesukaanmu itu” lanjut Pardjo dengan lantangnya padaku.
Aku yang mendengar
segera berlari menuju pelabuhan tepat dimana kapal ayahku akan berhenti. Pardjo
dan Umam tertawa lepas, karena ingin cepat-cepat menyambut ayahku, aku terjatuh
dan mukaku kotor dengan pasir. Aku malu, aku menangis, kawan-kawan perempuanku
memarahi mereka karena menertawakanku dan tidak mau menolong. Aku bangkit dan
berlari karena untuk menemui ayahku dan menyamarkan sikap maluku yang tergambar
jelas diraut wajah pada kawan-kawanku, terutama Pardjo.
“Hati-hati Mun, nanti
jatuh lagi lho kamu,” gelak Pardjo padaku.
Kata-kata itu yang
membuat aku bertambah malu dan ingin berlari secepat mungkin agar bisa sampai
pada ayahku.
Kawan-kawan perempuanku
menyusulku berlari, mereka mencibir tingkah laku kawan-kawan laki-lakiku.
Mereka juga berlari lantaran ayah mereka juga datang pada hari yang sama, dan
dalam kapal yang sama. Begitu juga Umam, begitu ia tahu ayahnya turun dari
geladak kapal. Umam dengan segera turun dari pohon kelapa dan segera berlari
menyusul kami. Tetapi tidak dengan Pardjo, dia diam saja melihat kawan-kawannya
berlarian menuju pelabuhan menyambut ayah mereka masing-masing, termasuk aku
dan ayahku.
Kembali aku merasa
sedih melihat Pardjo yang sendirian ditemani batu karang. Bergegas aku
mendatangi dia setelah menyambut kedatangan ayahku dari laut. Aku berlari kecil
karena takut hal yang paling tidak ku inginkan terjadi lagi.
“Pardjo” sapaku.
“Sedang apa kau
sendirian disini? Apa kau sedang menunggu ayahmu datang?” tanyaku pelan
padanya.
“Tidak, aku sedang
menikmati belaian samudra lewat debur ombak yang menari-nari menghibur diri”
sahutnya dengan cekatan.
“Jo, janganlah kau
sedih, lantaran ayahmu tak kunjung datang. Masih ada sanak saudaramu dan
kawan-kawanmu disini yang setia
menemanimu, termasuk aku, Mumun.” hiburku padanya ketika mendengar
kerinduan pada ayahnya lewat kata-kata yang puitis itu.
Ya, Pardjo memang salah
satu murid terpandai ketika guru di Sekolah Dasar kami menyuruh membuat puisi,
dan itu diakui mulai dari kelas dua hingga kelas enam di Sekolah Dasar kami
yang terletak di ujung kampung kami yaitu Sekolah Dasar Ombak Berbuih. Sekolah
yang mempertemukan kami untuk bercanda,
bermain, melempar seloroh dan berkelana menyusuri garis pantai yang semuanya
berwarna putih lantaran pasir putih yang terhampar seperti permadani.
“Jo, memangnya ayahmu
pergi kemana, lama sekali aku tidak melihat ayahmu” tanyaku pelan.
“Ayahku sedang merantau
ke Ibukota untuk mencari nafkah demi mengubah hidup keluarga kami, terutama
untuk mencari biaya pengobatan ibuku yang sedang sakit” jawabnya dengan muka
tertunduk.
“Oh, maaf aku tak
bermaksud untuk tahu lebih dalam, aku hanya sebatas ingin tahu saja Jo, maafkan
aku ya kalau aku menyinggung perasaanmu”
sahutku pelan-pelan karena tak kuasa melihat muka lelaki yang ku sukai
tertunduk di depan mataku.
“Iya Mun, tak apa-apa”
jawab Pardjo dengan malas.
Aku seraya
mengembangkan senyumku tuk menghibur suasan hati Pardjo yang sedih. Aku pun
merasa sedih karena lelaki itu sedih, entah mengapa aku turut sedih. Tetapi
perasaan ini adalah wajar, karena kau melihat dengan mata kepalaku sendiri
kalau orang yang sangat kusukai ini bertunduk muka dihadapanku, dan akupun tak
kuasa menahan buliran-buliran airmata yang mengalir deras dari hulu sudut
mataku menuruni bukit halus pipiku dan bermuara di hilir sudut bibirku. Asin
terasa tetapi aku tidak kuasa menahannya, apakah ini yang dinamakan ‘pilu’.
Sebelum Pardjomenoleh kearahku, cepat-cepat kuhapus aliran hangat yang melelah
dibukit pipiku. Kemudian mengembangkan senyum, mengelabuhi hatiku yang turut
sedih.
“Kamu kenapa Mun?”
Tanya Pardjo pelan.
“Ah, aku tak
kenapa-kenapa” jawabku setengah kaget ternyata yang bertanya adalah Inah,
kawanku bermain yang juga adalah sepupuku.
Aku masih meluluhkan
airmataku, aku baru sadar bahwa aku terbawa lamunanku pada saat kami masih
kecil, ketika aku melihatnya bertunduk muka dihadapanku karena rindu akan
ayahnya yang merantau.
“Kamu kenapa Mun?”
Tanya Inah pelan sambil menepuk pelan bahuku untuk yang kedua kalinya.
“Tidak, Inah, aku tidak
kenapa-kenapa” jawabku sembari menghapus airmataku yang masih ada bekas
bulirannya.
“Ayo, kita kembali ke kampung,
kamu sudah lama dicari-cari Ayahmu sedari tadi, tidak tahunya kamu berada di
sini diatas karang” ajaknya.
Aku tersenyum, sambil
membenarkan rambutku yang terurai bergelayut dihembus angin laut. Aku turun
dari batu karang tempat lelaki yang ku sukai menundukkan muka. Sembari berjalan
pulang, burung camar mengantar ku dengan riuhnya cicitan dari pucuk paruhnya
yang hitam itu. Tanganku pun digandeng oleh Inah supaya aku berjalan lebih
cepat karena hari sudah mulai tepat
untuk menghantar mentari tenggelam di ufuk barat.
Debur ombakpun
menyuruhku tuk segera pulang dengan segera. Sedangkan hatiku tak ingin segera
kembali pulang, lantaran aku menunggu lelaki itu pulang. Tak etis memang
kedengarannya, aku belum menikah dengannya, tetapi aku ingin menunggunya
selaiknya istri yang menunggu suaminya pulang bekerja mencari nafkah untuk
menghidupi keluarganya. Ya, perasaan itulah yang sekarang kurasakan dalam
dinginnya udara dikampung nelayan ini yang mengantarku hingga pintu pagar
rumahku.
“Mun, segeralah kamu
masuk, ayahmu sudah dari tadi menunggumu” ucap Inah.
“Ya, terimakasih ya
Nah” sahutku padanya.
“Aku pulang dulu ya
Mun, hari sudah hampir gelap, aku takut kalau ibuku nanti mencariku karena kau
belum sampai rumah dan hari sudah mulai gelap” sahutnya pula.
“Ya, hati-hati ya Nah”
jawabku sembari menarik sudut-sudut bibirku kearahnya.
Inah segera berjalan
pulang sembari melambaikan tangannya.
Akupun melambaikan tangan juga. Segera setelah terlihat gak jauh, aku masuk ke
rumah. Terdengar pula suara Adzan yang menggaung dari arah sebelah barat
rumahku. Aku masuk kemudian menutup pintu. Ayahku pun sudah menunggu di ruang
tamu.
Ditanyanya kemana aku pergi dari tadi siang hingga hampir malam ini aku
baru tiba di rumah.
“Mun, dari mana saja
engkau dari tadi siang sampai hampir malam ini?” Tanya ayah padaku.
Aku hanya diam saja,
tanpa melihat dan menegur pertanyaan ayahku. Aku tak ingin menjawab, sekalipun
tak ingin menjawab. Aku sudah tahu maksud dari ayahku menanyakan hal itu. Maka
dari itu sesegera mungkin aku masuk kamar dan berdiam diri disudut tempat tidur
yang berhadapan langsung dengan jendela yang mengarah ke laut.
Terdengar suara
jangkrik yang mengeras di heningnya malam, temaram senja yang mulai merah redup
ditelan samudra. Sayup-sayup terdengar suara biduan dari kejauhan bercampur
dengan deburan ombak dan benturan kapal-kapal yang tertata rapi di pinggir pelabuhan.
Suara yang sering ku
dengar sekian lama aku hidup disini dalam kegamangan hati yang kian lama kian
mendalam. Suara yang sering ku jadikan lagu pengobat rindu di kala aku di
tinggal melaut oleh lelaki yang bisa membuat pipiku merona selaiknya bunga
sakura yang tek pernah ku tahu bentuknya.
Waktu itu, aku masih
berumur enam belas tahun dan lelaki itu berumur satu tahun lebih tua dariku
meskipun kami satu kelas sewaktu sekolah di Sekolah Menengah Atas Ombak Berbuih
di kampung kami ini. Ia adalah lelaki yang cerdas, tidak mudah menyerah, dan
selalu mendapat peringkat karena prestasisa yang gemilang di masa itu. Aku
adalah salah satu dari segelintir perempuan yang suka terhadap pribadi Pardjo.
Bukan karena kecerdasannya, melainkan sikapnya yang bias membuatku tersenyum
dan tak merasa sedih dikala duka melanda perasaanku. Duka yang tak pernah akan
hilang dari ingatanku, duka yang telah merenggut nyawa ibuku dalam keadaan
sakit yang tak pernah diberitahu dan tak pernah diketahui oleh ayahku,
saudar-saudarku, dan terutama aku.
Pardjo, lelaki yang
tidak pernah bisa merasakan kasih sayang ayahnya yang merantau kepulau orang.
Tak beda denganku, aku adalah perempuan yang masih haus kasih sayang ibuku,
sejak ditinggal delapan tahun silam. Kami berdua sama-sama haus kasih sayang.
Tetapi kami berbeda dalam kesetaraan hidup. Ayahku adalah mandor dari sepuluh
kapal nelayan yang berlayar dari kampung ini. Sedangkan keluarganya adalah
keluarga dengan kehendak alam memaksakan Pardjo menjadi tulang punggung
keluarganya, merawat ibunya yang sedang sakit dari sebelas tahun silam yang
memberangkatkan ayahnya merantau ke ibukota untuk mencari nafkah dan biaya
untuk pengobatan ibunya.
Lama sudah Pardjo
menanti kedatangan ayahnya setiap kali ada kapal besar berlabuh di kampung kami.
Sudah sekian tahun lamanya ayahnya tak kunjung pulang. Terdengar kabar burung
bahwa ayahnya sudah berkeluarga lagi di sana.
Maka ia tak mau pulang, karena di ibukota berbagai kebutuhan tersedia, tidak
seperti di kampung ini. Aku merasakan sakitnya hati lelaki itu, hati yang
teriris mendengar kabar burung seperti itu. Perih yang terasa, penantian
panjang yang terbayar oleh kabar burung yang memekakkan telinga dan membuat
hati berdenyut sakit mengantar simpul-simpul kebencian dalam darah.
Tapi Pardjo tidak
seperti yang kupikirkan. Pardjo dengan sikap yang biasa menyambut kabar burung
itu. Masih ingat aku pada kata-katanya yang terdengar jelas dari arah
berlawanan denganku. Saat itu kau juga sedang menunggu kedatangan ayahku dari
berlayar selam sepuluh hari di birunya samudra.
“Tidak mungkin ayahku
melupakan kami, keluarganya di sini, dan lebih memilih berkeluarga di sana di ibukota dengan
oranglain yang semua kebutuhan hidup lengkap dan dapat terpenuhi sesuai
keinginan dan isi kantong” sahutnya dnegan tegas terhadap cletukan orang-orang
yang mengaku pernah bertemu dengan ayahnya, Sutaji.
“Lapang benar hati Jo”
sahutku dalam batin.
Segera setelah menjawab
kabar burung itu, lelaki itu kembali menuju sampannya, menyiapkan jala, menatanya dengan rapi, menyiapkan bekal dengan setumpuk harapan agar bias
kembali dengan hasil yang maksimal. Aku memperhatikannya dengan detil sejka
tadi sampai kau terlupa kalau ayahku sudah berada satu meter dihadapanku.
Kaget, itulah yang pertama kali kurasakan ketika ayahku menyapaku dengan
lantang. Perhatianku pada lelaki itu langsung berpindah dengan salah tingkah di
hadapan ayahku.
Aku malu, ketika ayahku
tahu bahwa aku memperhatikan Pardjo sedari tadi sampai-sampai ayahku tiba aku
tidak tahu. Ayah berseloroh.
“Rupanya anak gadisku
sudah mulai paham dan mengerti tentang anak laki-laki” selorohnya.
“Ah, ayah, tidak Yah,
aku tadi sedang melamun saja” sahutku dengan muka berkeringat dingin.
“Mun, ayah tahu apa
yang kau rasakan, sudahlah belum waktunya kau rasakan itu” sahut ayah dengan
nada agak tegas.
“Iya, Yah” jawabku
untuk mengalihkan perhatian ayahku terhadapa apa yang aku rasakan dalam dadaku.
Ayah dan aku bergegas
pulang, ayah membawakanku ikan kesukaanku yaitu ikan kerapu, beliau bawakan tiga
ekor. Tak kusangka ternyata Pardjo memperhatikanku. Ku tahu ketika aku tidak
sengaja menoleh kearahnya, dan ia melemparkan senyuman kepadaku. Akupun segera
membalas senyumnya meskipun terhalang oleh lalu lalang orang-orang kampung yang
sibuk dengan hiruk-pikuk pekerjaannya masing-masing. Bau amis menambah riuh
suasana dipelabuhan tepatnya di kampung kami ini.
Terdengar suara orang
memukul-mukul geladak kapal yang baru saja dibenahi karena menabrak karang.
Sayup-sayup semakin lama semakin keras. Aku tersentak dari lamunanku, lamunan
yang membawaku kembali ke suasana masa-masa indah sewaktu kami saling
melayangkan senyum meskipun terhalang oleh hiruk-pikuk orang yang lalu-lalang.
Dibukanya pintu kamar
oleh ayah, aku dipandanginya dengan seksama. Mungkin ada yang aneh pada diriku.
Ayah masuk kemudian duduk disampingku.
“Mun, kau ini kenapa?” tanya
ayah. “kau akhir-akhir ini terlihat sering melamun” tambah ayah.
“Aku tidak
kenapa-kenapa, Yah” jawabku dengan pelan.
“Mun, bagaimana tawaran
dari anak saudagar itu? Apakah kau sudah memikirkannya matang-matang? Ayah tak
mau kecewa dan ayah tak mau mengecewakanmu” Tanya ayah sembari mengusap
kepalaku.
“Aku tak tahu, Yah. Aku
masih belum memikirkan hal itu” jawabku pelan.
Aku paling tidak suka
dengan pertanyaan itu, setiap kali ayah menemuiku, hanya hal itu saja yang
selalu ditanyakan. Ayah selalu memulai hal yang paling tidak ku sukai seumur
hidupku. Aku ingin bebas menentukan masa depanku sendiri, memiliki dan menerima
pasangan hidupku dengan apa adanya, aku akan mencintai kekurangannya, dan
mendukung kelebihannya. Laki-laki yang ku suka itu adalah lelaki yang ditinggal
ayahnya merantau, membanting tulang untuk menghidupi keluarga dan mencari biaya
untuk berobat ibunya. Lelaki yang bias membuatku tersenyum dan pipiku merona
selaiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya. Lelaki itu adalah Jo,
Supardjo bin Sutaji. Lelaki yang cerdas dan bertanggungjawab. Lelaki yang hitam
manis lantaran dihempas samudra, ditempa oleh terik matahari, dan ditimang oleh
angin.
Ayah kemudian keluar,
duduk di ruang tamu sembari menikmati kopi. Aku berdiri kemudian menutup pintu
kamarku dan menguncinya dari dalam. Setelah itu aku duduk di tempat yang sama.
Aku melayangkan pandangan pada pekatnya malam. Alunan merdu ringkikan jangkrik
dan debur ombak berbair menjadi simfoni yang menghantarkanku pada suasana aku
dan lelakiku duduk sebangku dalam kelas berukuran enam kali tujuh meter. Salah
satu kelas yang paling bawah diantara yang lainnya. Kelas yang menjadi saksi
bisu ketika kau mulai merasakan detak jantungku berdegub kencang. Perasaan suka
pertama kali terhadap seorang anak laki-laki yang menurutku manis.
Sekolah Menegah Pertama
Ombak Berbuih. Sekolah kami tercinta, sekolah yang telah berpuluh-puluh tahun
mengantarkan siswa-siswinya menggapai cita-citanya. Sekolah yang telah
mengantarkan aku dan lelakiku menuju tingkat yang paling atas. Tingkat
yangtidak semua anak bias mengenyam pendidikannya. Di sekolah itu, aku
bersama kawan-kawan perempuanku sangat suka bermain kejar-kejaran. Suatu hari
ketika istirahat tiba, kami para murid perempuan bermain di belakang sekolah,
kami berkejar-kejaran. Tapi tak kusangka aku terjatuh lantaran tersandung batu
yang sedikit muncul ke permukaan tanah. Aku jatuh terjerembab, seragamku kotor
pada pangkal pinggangku. Lenganku tergores tanah dan menimbulkan luka yang
perih. Murid-murid laki-laki bermain bola tak jauh dari kami, mereka tahu kalau
aku terjatuh. Segera mereka berhenti, kawan-kawanku perempuan juga menolongku.
Aduh, perasaan malu bercampur nyeri tak tertahankan olehku. Pardjo, berlari dan
melihatku dnegan seksama. Dengan cepat ia berlari mencari dedaunan yang bisa
ditumbuk untuk mencegah iritasi pada lenganku karena tergores. Yang lain
membantu aku berdiri, ada juga yang mengejek dengan selorohnya, ada pula yang
menasehatiku agar berhati-hati. Tetapi tidak ada yang ingin mengobato lukaku
selain Pardjo yang dengan cepat membawa tumbukan daun-daun dan ditempelkannya
di lenganku yang tergores tadi. Nyeri rasanya, tetapi aku harus kuat.
Ia tahu kalau aku
kesakitan. Dengan pelan-pelan ia menempelkan tumbukan daun-daun itu. Sembari
mengucapkan sepatah kata.
“Mun, hati-hati kalau
bermain kejar-kejaran. Kalau jatuh seperti ini bias berbahaya bagimu” kata
Pardjo dengan pelan. “Di tahan sakitnya, sebentar lagi juga sembuh kalu lukamu
sudah kering” imbuhnya untuk menenangkan perasaanku.
“Iya, Jo. Terimaksih
banyak ya, Jo” sahutku dengan sedikit agak memicingkan mata karena tak tahan
perihnya.
Pardjo hanya tersenyum
saja ketika aku mengucapkan kata-kata itu. Aku membalas senyumnya. Di situlah
aku mulai merasakan jatuh cinta yang pertama kali. Ingin rasanya aku menangis
merasakan kegembiraan ini. Tersipu malu aku dibuatnya, Pardjo, selayang pandang
seperti Elvis Presley, penyanyi terkenal dari negeri yang jauh entah dimana.
Cuma Pardjo lebih gelap warna kulitnya. Itu saja perbedaannya bagiku.
Aku tertawa sendiri
dalam batin. Dia sama machonya dengan Rambo yang telah menumpas habis
musuh-musuhnya dengan kecerdasan dan kecepatannya. Macho itu menurutku memakai
kemeja yang bagus dengan warna cerah, memakai celana kain hitam yang dipungkasi
dengan sepatu kulit hitam mengkilap. Berjalan dengan membusungkan dada sedikit
agak tegap laiknya seorang ajudan. Kemudian menyapa perempuan dengan suara yang
sedikit agak menggema. Itu adalah macho. Tapi kalau duduk dibonceng oleh
seorang perempuan, itu namanya membunuh macho. Sehingga aku tidak suka akan hal
yang terakhir kuucapkan itu.
Aku tersadar dari
lamunanku ketika mendengar pintu kamarku diketuk dan ayah bertanya.
“Mun, apa kau sudah
tidur?” Tanya ayahku dengan berat dari balik pintu.
Dengan berat aku
menjawab, “ya, ini aku sedang beranjak tidur, Yah”.
Segera saja aku tidur
dengan berselimut kain tenun khas daerah ini. Hangat terasa sekujur tubuhku.
Jendela masih terbuka, memang sengaja kubiarkan terbuka supaya samar-samar
terdengar suara biduan yang berlenggang dalam bauran ombak pantai yang mencium
karang malam hari, bersenandung riang bersama ringkikan jangkrik yang menggoda
pasangannya kala malam tiba. Dinginnya udara malam pun menjadi satu dalam senandung
gema yang membuaiku pada mimpi-mimpi indah.
Aku terkesima karena berada pada lembah yang
penuh dengan bunga-bunga indah yang bertebaran hampir di seluruh bukit yang ku
lalui ini. Kupu-kupu terbang kesana-kemari sambil menunjukkan kecantikkannya. Aku
ingin menangkapnya, tapi tak bias karenbuhnya. Aku tak punya jaring untuk
menangkap kupu-kupum itu. Di kejauhan tampak seorang laki-laki berdiri di
antara rumput-rumput hijau yang menjulang tinggi menutupi sebagian tubuhnya.
Badannya yang tegap berdiri kokoh membelakangiku. Aku bertanya-tanya, siapa
gerangan laki-laki itu. Laki-laki yang kugambarkan seperti Elvis Presley dan
macho seperti Rambo itu memang mirip
seperti apa yang kubayangkan dalam lamunanku. Aku segera berlari menuju ke
tempat lelaki itu berdiri, semakin aku mendekat semakin jauh lelaki itu berada.
Semakin ku percepat langkahku, semakin cepat juga ia menjauh dari pandanganku.
Lelah, itu yang kurasakan. Tapi tak mengapa, aku lelah kalu itu adalah lelaki
yang ku sukai, semoga ia adalah Pardjo, lelaki yang membuatku tersenyum laiknya
bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya.
Lelaki itu semakin
samar, kali ini ia melambaikan tangannya ke arahku. Aku semakin bingung, siapa
dia sebenarnya, apakah dia Pardjo atau orang lain yang ingin mengucapkan salam
perpisahan kepadaku. Segera ku kejar dan berharap kabut itu hilang supaya
terlihat wajahnya yang samar-samar menjadi terang. Aku sudah tak kuat lagi
berlari mengejarnya. Lambat laun nafasku sudah semakin berat lantaran aku
kelelahan. Sebentar saja wajahnya terlihat terang meskipun samar. Ia tersenyum
kepadaku dan tetap melambaikan tangan. Aku tahu ia adalah lelaki itu, lelaki
yang ku sukai. Ia adalah Pardjo.
Aku terjaga dalam
tidurku, dan aku baru sadar dengan nafas terengah-engah. Hari sudah pagi, ayam
jantan sudah berkokok sejak tiga jam yang lalu. Terdengar suara Inah dari ruang
tamu. Ada apa
gerangan. Inah mengetuk pintu kamarku. Tak segera ku bukakan pintu itu, setelah
hampir lima
menit. Aku buka pintu kamarku. Ternyata Inah sudah pulang.
Bergegas aku merapikan
tempat tidurku. Kemudian menyiapkan pakaian yang akan ku pakai hari ini. Aku
mandi dengan segar, memakai shampoo untuk memperindah rambutku. Segera setelah
mandi dan berganti pakaian aku segera memasak untuk makanan kami sekeluarga.
Tidak ada hal yang aneh terjadi hari ini. Semua biasa saja. Tetapi aku masih
teringat mimpiku tadi.
Sesudah semua pekerjaan
rumahku selesai. Keluar rumah aku menuju pelabuhan. Biasanya Pardjo sudah
hamper sampai dari melautnya. Ternyata dugaanku benar. Pardjo sudah sampai, itu
bisa terlihat karena sampan miliknya sudah ada dipinggiran pantai dengan
keadaan terikat pada pasak yang ditancapkan.
Sudah puas melihat
sampannya, aku kembali ke pinggiran pantai, menyusuri pasir putih bermain
dengan buih-buih ombak yang tertinggal di bibir pantai. Aku tak merasa ada hal
yang aneh. Hal yang kuimpikan semalam. Tetap saja aku menyusuri pantai.
Menikmati pesona yang ditawarkan kampungku ini.
Setelah sekian lama berdiam diri di atas batu karang yang sering diduduki oleh lelaki yang ku sukai, aku mulai merasa ada hal yang aneh yang hilang dari kehidupanku. Suasana mulai riuh, menandakan waktu berlayar dan mencari nafkah sudah didentangkan kembali oleh waktu. Para nelayan sudah berduyun-duyun menyusuri jalan menuju pelabuhan dengan membawa bekal dan kasihsayang dari istri dan anak-anaknya.
Aku masih saja berdiam diri karena belum menangkap suasana yang hilang dari kehidupanku. Tiba-tiba aku melihat Inah berlari ke arahku sambil melambaikan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membawa sesuatu. Aku memicingkan mataku, menutupinya dengan telapak tanganku sebelah kiri menghindari terik matahari yang membuat silau pandanganku. Inah semakin mendekat, semakin terlihat ia tergesa-gesa menyampaikan sesuatu. Penasaran hatiku ingin segera tahu apa yang ingin disampaikannya. Inah terengah-engah menghela nafas sambil berkata terbata-bata dan menyodorkan kertas putih yang dilekuk dengan hati-hati.
“Mun, ada sesuatu
untukmu” ucap Inah sambil menyodorkan secarik kertas putih itu.
“Apa ini, Nah?” Tanyaku
padanya dengan keheranan dan penuh pertanyaan.
“Ini surat untukmu dari Pardjo, semalam ia
menitipkan ini padaku, ia memintaku untuk memberikannya padamu setelah fajar
mulai menyingsing hari ini” tegas Inah.
“Apa? Ini surat dari Pardjo untukku”
tanyaku dengan penuh penasaran.
Aku menerima surat itu dengan tangan
gemetar, ada apa gerangan. Baru kali ini aku menerima surat dari lelaki yang ku sukai itu. Perlahan
ku buka surat
itu. Ku tamatkan kata demi kata dalam surat
itu.
“Selamat pagi Mun, maaf kalau aku mengagetkanmu dengan mengirimkan surat ini. Aku hanya ingin menyampaikan kalau aku akan ikut dengan temanku mengadu nasib di negeri orang. Aku akan berangkat malam ini. Aku tahu kamu akan kaget membaca surat ini. Untuk itu aku meminta maaf kalau aku mendadak mengabarimu seperti ini. Sebenarnya aku tak kuasa melakukan ini. Tapi aku ingin segera mengubah nasib, dan bias mencari biaya berobat bagi orang tuaku. Aku hanya meninggalkan sepucuk surat ini untuk kau simpan. Kalau kau sabar tunggulah aku kembali. Aku akan meminangmu. Kalau kau tak sabar. Bolehlah engkau berpaling dariku, pilihlah anak saudagar itu. Ia lebih baik dariku. Aku hanya anak orang laut yang sekian lama tak merengkuh kasih sayang dari orangtuaku. Terimakasih atas perhatianmu selama ini kepadaku. Aku tahu dan paham apa yang kau rasa dan gantungkan harapan kepadaku. Aku laki-laki dan itu ada dalam darahku. Aku juga merasa demikian. Tapi aku akan berusaha untuk meraih yang terbaik dan itu adalah impianku. Maafkan aku Mun. Aku menyayangimu. Pardjo.”
Hatiku hampa setelah
membaca surat
itu, air mataku meleleh tanpa ku rasa lagi lelehannya. Hatiku sunyi. Tak ada
kesejukan yang kurasa. Aku duduk tersimpuh di atas pasir. Tak kuat menahan rasa
kehilangan yang mendalam. Aku hanyut dalam isak tangisku sendiri. Inah
menghiburku. Inah tahu apa yang kurasakan selama ini, dan inillah puncaknya.
Aku seperti orang yang hampir kehilangan segalanya tanpa ku sadari hal itu
sudah ada di hadapanku. Aku terus saja menitikkan buliran-buliran bening dari
setiap lekuk mataku, sama ketika aku menangis di hadapan jenazah ibuku. Aku
menangis sejadi-jadinya untuk kali kedua dalam hidupku. Aku tak kuat untuk
berdiri menghadapi keadaan ini. Aku merasa seperti berjalan sendiri diantara
keriuh-gembiraan bertabur bunga dan berbaurnya alunan musik nan merdu.
Inah menemaniku sampai
isak tangisku berhenti karena mata air air mataku sudah tidak mengeluarkan
airmata lagi, mataku sembab, merah karena terlalu lama menangis, Inah juga ikut
menangis karena merasakan apa yang kurasa. Kami berdua larut dalam isak tangis
ditemani batu karang yang kami buat bersandar. Debur ombak mengalunkan musik
pilu yang menyayat hati bertabur dengan dentuman-dentuman suara yang menggema
karena mencium karang dan suara cicit burung camar yang menyanyikan lagu sedih.
Bahu kiri Inah basah
karena airmataku. Selendangkupun basah karena airmataku pula. Kami semakin
larut dalam kepiluan ini.
Terik matahari berganti
senja yang mengantar temaram menyelimuti seluruh sudut kampungku. Kabut turun
dari lembah-lembah perdu. Sunyi senyap malam membuaiku untuk segera beranjak
tidur. Badanku lelah, pikiranku lelah, mataku tak bisa mengatup untuk sejenak
melupakan kejadian ini. Malam segera berganti pagi seketika hangat mentari
menyeruak dari ufuk timur membelah temaram langit yang pekat. Hangat mentari
menambahkan derajatnya berganti terik kemudian dilahap temaram. Waktu begitu
cepat berlalu tanpa terasa.
Sehari telah berlalu, kegalauan
di hati masih menggelayut, dan aku masih belum bisa menerima keadaan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri komentar ya setelah baca atau hanya melihat aja.... thanks