Translate

Rabu, 02 Mei 2012

Cerpenku: #3 Rindu yang Ungu


Rindu yang Ungu
Oleh : Ahmad Sayuthy Al Malik, S.Pd 
Dua bulan telah berlalu, Pardjo belum juga pulang ke kampong. Hatiku rindu terbatas samudra biru yang membentang. Kampung nelayan masih juga riuh ketika fajar baru saja menyingsingkan senyum cerianya. Aku berjalan ke bilik-bilik bambu dekat pantai. Duduk sendiri merenung nasib. Memikirkan hati yang pilu karena rindu yang ungu. Ayah tetap saja santai membaca koran di serambi rumah sambil menikmati secangkir kopi buatanku tadi sehabis mandi dan sesekali melirik kemana aku melangkahkan kaki. Rasanya seperti diintai oleh mata-mata yang ingin menculikku. Gundah, tak nyaman, geram, pilu sebuah perasaan yang muncul dari dalam hati yang tiba-tiba menjulur ke sudut pikiran. Entah mengapa ku merasa begitu. Apa mungkin aku sudah rindu dengan seloroh-seloroh dari Jo, orang yang ku sukai kini telah dirantau orang dan tak kembali-kembali.

Inah datang dengan tiba-tiba, dan kami berdua tertawa lepas sambil menikmati suara merdu deburan ombak bagaikan orang yang menabuh genderang perang bersama bidadari-bidadari khayangan dan ksatria-ksatria menawan. Inah memang periang, lucu, dan menggemaskan karena seloroh-seloroh dan tingkah lakunya yang  aneh. Ya, kami adalah saudara yang saling berbagi satu sama lain. Tidak pernah merasa dirugikan atau diuntungkan. Saling berbagi meskipun saling mencela karena kebisingan kami ketika bertemu dimanapun tempatnya. Ya, kami adalah saudara yang saling membutuhkan satu sama lain, karena itu kami dinamakan saudara sepupu.

Inah bercerirta tentang Umam yang semakin hari semakin menarik baginya, jika dilihat ternyata ada bias-bias cinta dalam hati Inah terhadap Umam yang sesekali mampir ke rumah Inah sambil membawakan seikat ikan bawal untuknya. Mungkin saudaraku ini sedang merasakan jatuh cinta untuk pertama kali dalam hidupnya. Ingin rasanya tertawa tapi aku takut untuk mengungkapkannya dengan lepas, hanya senyum saja yang ku lempar menandakan arti senang mendengar ceritanya. Aku senang sekali tahu bahwa Inah memendam cinta pada Umam, begitu juga Umam kepada Inah.

Hari berganti hari, bulan berganti kembali, waktu pun tetap terasa lambat di hadapanku. Aku tak bisa membuncahkan rasa rinduku, hanya diri sendiri yang merasakan dan orang lain pun tak tahu dan paham, rindu yang ungu, ya rindu yang aku rasakan dalam hatiku sekarang ini setelah kepergian laki-laki yang bisa membuatku tersenyum laiknya buka sakura yang merekah di musim semi. Ku jalani hari yang berat tanpa rasa senang dalam hati. Ayahku tetap saja ingin aku menerima pinangan anak saudagar kaya teman Ayah ketika melaut. Memang mereka berteman baik, akrab seperti saudara sendiri, anaknya laki-laki tampan, berpendidikan tinggi di luar kampong kami ini, berpenampilan menarik, bertutur bahasa yang baik, tetap saja aku tak bisa mencintainya lantaran hatiku sudah terkunci untuk mencintai orang lain, mencintai laki-laki yang bernama Jo. Meskipun terbesit dalam hati, bahwa keinginanku ini tidak akan menemukan akhir yang indah dalam cerita hidupku ini. Aku ingin satu saja orang yang mengisi ruang-ruang dalam hidupku. Apakah ini yang dinamakan setia menurut orang tua jaman dahulu. Atau ini hanya perasaanku saja yang memang baru pertama kali jatuh cinta kepada seseorang yang sangat memperhatikanku sedari kecil hingga aku dewasa menjadi gadis yang ditinggal pergi oleh kekasih hatinya.

”Sesal yang terasa, cintaku akan tetap ada, tak akan berpindah ke lain jiwa, kan ku ungkapkan rasa terpendam dalam jiwa, kan ku berikan semua untuknya aku kan setia, walaupun ku teteskan air mata, selamat jalan cinta”. Ucapku lirih mengahadap ke deburan ombak.
”Mun, kau kenapa?” tanya Inah yang membuatku tersentak dari lamunanku.
”Ah, tak apa-apa” jawabku meyakinkan Inah.
Inah tak hanya diam, tapi ia ternyata memperhatikanku dari tadi ketika aku terhanyut dalam lamunan indah walaupun sendiri. Terlihat dari pandangannya terhadapku yang penuh dengan pertanyaan tentang hatiku.
”Mun, kau teringat pada pardjo ya?” tanyanya pelan sambil menghela nafas.
”Ah, tidak Nah, aku hanya berpikir bagaimana ombak itu bisa berbuih, seperti nama kampong kita tercinta ini, Kampong Ombak Berbuih” jawabku datar.
”Sudahlah Mun, kau tak usah menyembunyikan perasaanmu pada Pardjo, aku paham apa yang kau rasakan Mun, aku ini saudaramu, teman mainmu sejak kecil” tegas Inah dengan membalikkan badanku supaya berhadapan dnegannya.
”Aku tak apa-apa Inah, paham apa kau tentang perasaan yang ku pendam” hardikku kepada Inah.
”Mun, kau masih ingat surat dari Jo, pagi itu? Sejak saat itulah kau selalu bersikap seperti ini, sering melamun dan menghabiskan waktu ditepian pantai sampai matahari tenggelam dalam lautan.” perjelas Inah padaku.
”Aku tak tahu Inah, aku hanya bersikap seperti gadis pada umumnya saja, tidak lebih, sama seperti kau Inah. Biasa saja, tidak ada yang lebih” jawabku padanya.
”Sudahlah Mun, kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu itu padaku, aku tahu apa yang kau rasa, berbagilah cerita kepadaku, aku ini saudaramu, aku tahu kapan kau merasa suntuk, senang, dan sebagainya. Kita sama-sama gadis yang memendam rasa cinta dan rindu kepada seorang lelaki” tegas Inah meyakinkanku untuk bercerita kepadanya.
”Aku hanya rindu pada seseorang Nah, Jo, kau tahu kan itu, sejak surat itu datang padaku untuk pertama kalinya, hingga saat ini aku masih menunggunya dnegan harapan dia kembali kepadaku dan melamarku seperti gadis-gadis lain di kampong kita ini. Apakah salah jika aku menolak pinangan anak saudagar teman Ayahku itu Nah? Aku tak tahu harus menjawab apa? Di satu sisi aku tak ingin mengecewakan Ayahku, di sisi lain aku hanya cinta pada satu orang lelaki, Pardjo. Dia orang yang sangat aku cintai”  jawabku dnegan berderai air mata.
”Mun, kau tidak salah dnegan kedua keinginanmu itu, berat memang, tetapi orangtua yang baik adalah orang tua yang mengerti keinginan anaknya, meskipun itu sulit diterima oleh akal sehat orang tua yang menginginkan anaknya mendapat pasangan hidup yang layak. Namun anak yang baik adalah anak yang menuruti perintah orangtuanya. Susah memang kita hidup menjadi gadis, dilema, ya itu yang kita rasakan sekarang, terutama kau Mun” timpal Inah dengan mengusap kepalaku perlahan-lahan.

Kata-kata itu membuatku menjadi seperti orang yang mendapat energi baru, aku berpikir bolehkah aku menjadi seseorang wanita yang pertama kali keluar dari kampong ini untuk bekerja, mungkin dengan hal itu aku bisa saja bertemu dnegan Pardjo. Singkat sekali pemikiranku ini, dan secepat mungkin aku menjawab dalam hati, bahwa hal itu mustahil bisa terkabulkan oleh Ayahku. Di kampong kami ini, wanita terutama gadis tidak boleh bekerja diluar kampong, boleh bekerja ketika sudah bersuami atau ditinggal suami mati. Berat memang mengikuti adat. Tetapi kata orang tua di kampong kami ini itu adalah hal yang menghargai wanita sebagai seseorang yang sanagt dihormati.

Kami berdua larut dalam perasaan yang semakin membuncah. Rindu yang semakin dalam kepada laki-laki yang berbeda, tetapi dengan kedua sikap orang tua yang pastinya berbeda. Tak terasa hari sudah hampir gelap, aku dan Inah kembali menyusuri garis pantai menuju rumah kami masing-masing. Kami berpisah sambil melayangkan senyum masing-masing.

Aku masuk rumah yang sedari kecil menaungiku hingga sekarang, perasaan yang aneh tiba-tiba mengusik hatiku ketika aku melangkah masuk teras depan rumahku, pintu yang sedikit terbuka, cahaya lampu temaram yang membias keluar menerobos celah pintu, ada gelak tawa dan canda terdengar sayup-sayup dari dalam rumah, aku terdiam, menyimak apa yang bisa aku simak sebelum aku masuk dan membuka pintu rumahku. Semakin dekat semakin jelas suara itu, ya aku kenal dnegan suara itu, suara seseorang yang dekat dnegan Ayahku, suara yang mengikatku dalam belenggu kebimbangan hati, suara yang menyeretku untuk diam selam ini, suara yang mengatarkanku pada kenangan dua bulan lalu ketika fajar baru menyingsing. Suara yang membuat ku tak ingin masuk ke dalam rumah saat ini, aku kembali melangkahkan kaki pelan-pelan supaya tidak terdengar oleh mereka berdua di dalam. Kupercepat langkahku sejauh mungkin, dan aku berlari menuju rumah Inah, saudaraku.

Tanpa mengucap salam, langsung saja ku masuk ke dalm rumah Inah, menerobos ruang tamu, menuju kamar Inah yang berada di pojok sebelah kiri sudut rumah , masuk menangkap Inah dengan rangkulanku ke tubuhnya, menangis, meradang. Inah tersentak kaget dan memelukku kemudian memapahku ke tempat tidurnya. Inah bertanya-tanya kenapa aku tiba-tiba kerumahnya dengan tergesa-gesa dan menangis.

”Mun, kau kenapa, tiba-tiba menangis?” tanya Inah penuh keheranan.
”Aku tidak mau pulang, ada seseorang di rumahku yang sangat aku benci. Dia datang dan sedang berada di ruang tamu. Aku tidak mau masuk, makanya kau ke sini” keluhku kesal pada Inah.
”Ya sudah kau disini saja sementara, aku temani kau Mun, sampai orang itu pulang ke rumahnya malam ini” papar Inah dengan penuh kasih sayang padaku yang masih terisak di pundaknya.

Inah menemaniku yang masih terisak di sudut tempat tidurnya tepat serta menyenderkan kepalaku di pundaknya yang semampai. Aku masih teringat 8 bulan yang lalau ayahnya datang bersamanya ke rumahku untuk bertemu ayahku dengan maksud meminangku. Aku dengar itu sayup-sayup dari dapur sebelum aku menyuguhkan kopi panas pada mereka bertiga. Apa ayahku tak mengerti bahwa anak gadisnya ini memiliki hati dan keinginan yang kuat untuk berjodoh dengan orang lain yang bukan pilihan orangtuanya. Ayah dengarkanlah kata hati anakmu ini. Batinku menjerit rasa sakit yang memuncak malam ini. Malam yang paling aku benci untuk kedua kalinya dalam kurun waktu 32 minggu. Malam yang membuatku kabur dari rumah untuk pertama kalinya. Malam yang dingin sedingin kalbuku yang tersayat sembilu perasaan yang perih memerih sukma merajut asa dalam impian semata. Malam yang tak mungkin bisa aku lupakan ketika dalam mabuk kepedihan hati, orang yang ku sayangi sepenuh hati yang bisa membuat pipiku merona laiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya merantau di negeri orang nun jauh di sana di seberang samudra yang biru sebiru hatiku malam ini malam yang syahdu. Syahdu dalam kepedihan.

Masih terisak dan tenggelam dalam tangisku, aku masih saja bersandar di bahu kiri Inah. Terdengar ketukan dari luar pintu kamar Inah. Segera ku hapus bekas airmataku. Kusembunyikan roman mukaku yang pilu, ku ubah dengan wajah riang meskipun sedikit sendu tampak di mataku. Inah membuka pintunya.

”Nah, kenapa Mumun, kok sepertinya ada masalah?” tanya paman Atim pada anaknya.
”Tak apa-apa Yah, mungkin Mumun lagi ada masalah. Mungkin saja dia ingin berbagi cerita padaku seperti yang kami lakukan di pinggir pantai setiap hari’ jawab Inah sopan dan menetralisir keadaan.
”Mun, kau tak apa-apa kan?” tanya paman Atim padaku.
Aku hanya menyunggingkan senyumku sambil menundukkan mukaku sedikit.
”Sudah Yah, biarkan kami berdua sebentar saja. Mungkin ada beberapa hal yang mau diceritakan oleh Mumun padaku.” sela Inah pada ayahnya untuk segera meninggalkan kami berdua di dalam kamar.
”Ya sudah kalau begitu, cerita saja pada Inah, Mun. Kalau lapar langsung saja ke dapur.” seru paman Atim sambil menutup pintu kamar Inah dari luar.
”Iya” sahutku lirih.

Kami berdua saling bercerita tentang hubungan kami masing-masing, terutama aku yang sedang dalam kegalauan hati. Porsi yang diberikan padaku lebih banyak daripada Inah sendiri. Aku tak bisa menutupi perasaanku pada Inah, ku ceritakan semua pada Inah. Inah juga begitu. Kami saling berbagi, saling mengerti keadaan kami masing-masing dalam hal apapun.

Tak terasa malam semakin larut, Ayahku tak juga mencariku. Mungkin dia tahu ketika kau pelan-pelan lari menghindar dan menuju rumah paman Atim, ayah dari saudaraku Inah. Mungkin ayah diberitahu oleh paman Atim bahwa kau berada di rumahnya. Mungkin juga tidak tahu. Aku mulai merasa takut di tengah-tengah kegalauan yang kurasa. Aku inngin pulang, tapi Inah menahanku malam ini. Inah berkata padaku biar dia yang bilang pada ayahku besok pagi bahwa aku menginap di rumahnya malam ini. Tapi, aku takut ayahku marah karean aku belum ijin padanya. Bimbang semakin bertambah dalam hatiku, memuncakkan rasa takutku untuk pulang ke rumah. Memupuskan semangatku tuk pergi dari kampung ini malam ini.

Jendela kamar Inah masih terbuka lebar dengan semilirnya yang sejuk mengantarkan desahan pantai yang pulas bergesekan dengan pasir-pasir yang lembut. Entah mengapa, aku mendengar suara yang tak asing bagiku. Suara yang selalu membuatku teringat waktuku kecil berada di pinggir pantai, bermain bersama, berceloteh-celoteh yang tak tahu maksud dan artinya, belajar bersama, menikmati waktu bersama. Aku kenal orang yang punya suara ini. Suara yang membuatku selalu merasa diperhatikan walaupun kami sering tersipu malu dan hanya melayangkan senyum ketika bertemu atau tak sengaja bertemu.

Ya, suara lelaki itu, itu suara Pardjo, kekasihku yang telah lama merantau di negeri orang. Suara yang telah lama tak ku dengar. Suara itu membuatku semangat lagi. Ku cari asal suara itu terdengar, ku coba dengarkan sayup-sayup lewat jendela. Tak sabar, kucari keluar lewat pintu depan rumah Inah, ku turut asal suara itu sampai jelas. Ku susur jalan setapak menuju pelabuhan, dimana Pardjo biasanya membersihkan sampannya sebelum beranjak pulang. Terlihat dari kejauhan sosok tinggi besar berada di atas sampan itu. Sampan Pardjo. Apakah itu dia? Rasa penasaran menyelimuti hatiku.Rasa ingin tahuku bertambah besar, kemudian diam karena lelaki itu menyapaku dari kejauhan yang berarti dia tahu kehadiranku.

”Apa yang kau lakukan disana? Tak merasa dinginkah kau itu Mun?” tanyanya dari kejauhan di atas sampan.
”Apakah kau Pardjo?” tanyaku sambil berteriak.
”Iya, ini aku Pardjo!’ jawabnya tegas.

Ah, mencair sudah kerinduanku yang beku selama berbulan-bulan. Akhirnya aku menemukan kembali sinar cerah diwajahku yang terurai dari binar-binar mataku yang meneteskan buliran-buliran perasaan sambil tersenyum senang dalam hati lewat senyum dibibirku yang basah.

Dingin semakin merasuk kulitku yang tipis, tersentak ku dalam lamunanku yang indah walau hanya sebentar saja. Dan aku masih saja gamang yang mendalam dalam rinduku yang ungu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

beri komentar ya setelah baca atau hanya melihat aja.... thanks