Translate

Rabu, 02 Mei 2012

cerpenku: #2 Cintaku Berbatas Antara Sungai Ciliwung dan Kali Brantas


Cintaku Berbatas Antara Sungai Ciliwung dan Kali Brantas
Oleh: Ahmad Sayuthy Al Malik, S.Pd

Sebulan sejak kejadian malam itu aku terus saja membayangkan wajahnya. Diantara semak belukar bergandengan rerumputan yang membijuk hijau warna kesukaan mereka yang merekah dibalut sunyinya desahan rindu yang mendalam dari lubuk kalbu.
“Mengapa semua ini bisa terjadi di luar keinginanku? Kenapa Tuhan? Kenapa? Apakah engkau sudah menuliskannya dalam buku harianku yang tak pernah ku tahu ke arah mana aku berjalan dan bertemu?” teriakku dalam batin.
Semasa hidup ku tak pernah merasakan rindu akan cintaku yang mendalam ini lama-kelamaan berubah menjadi ungu. Ya, jauh sekali diantara dua dari tiga sungai besar yang melewati dan memisahkan beberapa daerah dari pulau yang kami tempati, aku berada pada daerah yang jauh berada di timur dan berbatasan langsung dengan samudra, sedangkan Pardjo berada di daerah barat yang sarat dengan semuanya.
Ingin sekali aku melayang menuju tempatnya singgah, barangkali dia juga rindu padaku kali ini. Tapi entah apa yang dilakukannya hari ini, apakah dia sempat memikirkan aku di sini.
Sesak yang aku rasakan ketika kata-kata itu terlintas dalam batinku dan sempat aku memikirkannya. Ya apa dia ingat padaku di sini. Apakah dia juga sempat merasakan rindu yang mendalam seperti ini dalam hatinya. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, apakah aku harus menyusulnya juga ke kota itu, kota yang menurut orang menjanjikan semuanya bagi kelangsungan hidup.
Sebentar, aku merasakan ada hal lain yang menganjal dalam hati, aku terlupa akan suatui hal, yak au sejenak melupakan bahwa ada sesuatu yang sangat besar menantiku di luar sana. Ya hal yang membuatku ingin kabur dari rumah dan meninggalkan desa ini, Desa Ombak Berbuih, desa kenangan seribu kenangan. Desa dimana kisah ini berawal dan akan berakhir disini juga. Desa yang melahirkan hal yang harus membuat ku menjawab dengan sejuta kegundahan hati, jawaban dari sebuah pinangan anak saudagar kaya teman ayahku.
Pusing aku merasakan hal itu, terbakar rasa hati ketika teringat kembali kan masa lalu dan masalah itu muncul bertepatan dengan tumbuhnya cintaku pada lelaki yang membuatku rindu itu. Tapi apakah akau menjadi anak yang baik menurut ayahku ketika aku menolak pinangan itu.
Tok, tok, tok, terdengar suara di pintu kamarku. Inah menerobos masuk dengan senyumnya yang khas.
“Mun, sedang apa kau di sini? Tidak ingin jalan-jalan? Apa kau ingin sampai mati berada di kamar terus?” gerutu Inah sambil berjalan.
“Ada apa kau kesini Nah, tidak biasanya pagi-pagi kau kesini? Mau minta makan ya?” sahutku sambil tertawa.
Pecah sudah tawa kami berdua di kamarku yang hanya 3,5 x 3 meter ini. Dan kami bersiap-siap pergi berjalan-jalan di pinggiran pantai yang dimiliki desa kami ini. Aku mematut-matut diriku di depan cermin, sedangkan Inah sedang sibuk sendiri mencari makanan-makanan kecil di laci kamarku. Hal itu yang tak bisa lepas dari diri Inah, sepupuku yang bisa membuatku tertawa sampai terharu.
Sampailah kami pada suasana hening yang terekam saat ini. Inah menyuguhiku sebuah surat dalam amplop biru berstempel ibukota. Aku diam sejenak tak percaya pada apa yang ku lihat. Surat dari lelakiku yang nun jauh di sana.
Segera ku baca surat itu pelan-pelan dengan perasaan yang sungguh-sungguh senang. Inah segera keluar setelah ia menemukan sebungkus krupuk berwarna merah di laciku dan kemudian dnean senyumnya dia meninggalkanku yang sedang asyik membaca surat dari lelakiku.
Oh, lepas sudah dahaga rinduku kala ku baca untaian-untaian kalimat yang senandung sendu dalam kalbu. Pilar-pilar cintaku semakin menguat membuncah rinduku yang amat dalam.
*****
Tiada batas bagiku ketika mula-mula ia mengirim surat tuk yang kedua kalinya selama 6 bulan terakhir ini. Aku tersentak betapa ia masih ingat padaku dan aku pun bersyukur karena ia mendengarkan kerinduanku ini.
Debur ombak masih saja  mengalun tentram di hati bak mutiara di dasar kalbu berirama simfoni bianglala yang membias mentari hangat. Anginpun berlalu dengan mengarak awan menyimpulkan senyum, burung-burung camarpun bernyanyi dengan cicitannya yang khas menyapaku dengan riang di hari yang gemilang.
Inah dan Umam terlihat di kejauhan berduaan bak merpati sedang asyik bercumbu berjalan mendekati dimana aku menikmati suasana senja nan elok.
Ya, aku menikmati sekali karena pupus rinduku sudah mengembang menjadi daun-daun rindu yang hijau dan siap berfotosintesis untuk menunjang bunga kasih sayang dan menghasilkan buah-buah cinta yangtak pernah habis rasa manisnya bagi lelakiku yang nun jauh di negeri seberang. Pohon kelapa bergeming melihatku tersenyum sendiri di bawahnya, adakah yang salah dnegan senyumku?
“Mun!” hardik Inah dan Umam di sampingku.
“Ah, kalian mengagetkanku saja. Kenapa kalian kesini? Mau mencarikanku suasana yang menyenangkan?” tanyaku dengan tersenyum.
“Ndak, kenapa aku harus mencarikanmu suasana yang bagus, bukannya kau tersenyum-senyum sendiri dari tadi. Ku kira kau kemasukan Jin pohon kelapa” sahut Inah.
“Bukan Nah, dia bukan kerasukan Jin pohon kelapa, tetapi kemasukan Jin penguhuni pelabuhan ini” tambah Umam.
“Enak saja, mana ada Jin yang mau merasukiku, kecuali kalau mau memberikanku kembang teratai” jawabku pada mereka berdua.
Pecah sudah tawa kami bertiga bercampur dengan deburan ombak yang dahsyat, cair sudah segala rasa kami bertiga dalam suasana yang hangat.
Sang Raja Siang sudah mulai beranjak keperaduannya, suara ringikan jangkrik dan temannya pun sudah terdengar syahdu mengantar kepekatan yang perlahan mengantikan keriuhan, hanya deburan ombak yang tersisa dengan siulan angina yang senantiasa menimang-nimang gelombang samudra.
Suara adzan pun terdnegar sayup-sayup dari kejauhan dan itu menandakan bahwa kami harus segera pulang dan bergegas mengahadap pada Sang Ilahi.
Kami bertiga berjalan sambil bergurau meskipun sebenarnya tidak baik untuk bergurau. Tetap saja kami bergurau sampai pada halaman depan rumahku. Lambailah tangan mereka padaku sambil berpamitan Umam dan Inah, kemudian aku masuk dan mendapati ayahku sedang siap-siap ingin berankat ke langgar belakang rumahku, aku pun segera menyusulnya beberapa menit kemudian.
Jam pun berdentang ketika jarum jam menunjukkan pukul 06.00 malam, menandakan waktu sudah benar-benar pekat. Tak lama berselang terdengarlah sayup-sayup suara biduan dari kejauhan. Teringatku dalam sekejap ketika ku melihat lelakiku tengadah dengan tali di tangannya dengan kulitnya yang hutam legam terkena sengatan matahari. Buliran bening tiba-tiba menetes dengan cepat tanpa kusadari ku baca lagi kabar dari angin.
“Apakah dia kan datang hari ini?” tanyaku dalam batin.
Bergelimang sudah air mata ini tak mungkin ia kan dating hari ini. Ku buka lagi lembaran surat yang pertama, ku baca lagi surat yang kedua. Sejenak terpikir bahwa bahasa yang dipakai kekasihku itu sama, tetapi akulebih mengenal tulisan pada surat yang pertama ketimbang surat yang kedua. Terbesit dalam hati pertanyaan yang mustahil.
“Kenapa tulisannya berbeda ataukah orang yang mengirim surat ini berbeda?” pikirku tajam.
“Mun, sedang apa kau di dalam? Buatkan ayah kopi.” Teriak ayah dari ruang tamu.
“Ya, ayah, sebentar akau masih merapikan baju” sahutku cepat sambil menyelipkan surat itu di sakuku.
Secepatnya ku membuatkan kopi untuk ayah, berharap setelah itu ku bisa ke rumah Inah tuk mencari tahu kebenaran antara dua surat yang ku terima ini. Segera ku suguhkan pada Ayah kopi yang masih panas. Segera berpamitanku pada beliau dengan alasan mengambil bajuku yang dipinjam Inah dua hari yang lalu. Ayah mengangguk, aku pun segera pergi dan berjalan menuju rumah Inah.
Hanya ada satu jalan ke rumah Inah setelah melewati pelabuhan, jalan dimana ku melihat senyum simpul dari Pardjo ketika tak sengaja ku menoleh padanya siang itu. Jalan yang menambah volume cintaku padanya, jalan yang membawaku tuk melihat betapa beratnya malam itu, jalan yang meninggalkan suasana mengharukan dalam hidupku yang berbuah kesepian dan kerinduan yang mendalam tatkla surat itu datang padaku tuk pertama kalinya.
Ku percepat langkahku menuju halaman rumah Inah. Terdengar jelas suara lagu keroncong khas kesukaan paman dan bibiku, tak beda jauh dengan Inah, dia juga simpatik terhadap lagu langgam Jawa asli sama sepertiku, karena lagu-lagu itu sangat dekat dengan suasana hati kami berdua yang sedang dimabuk cinta dan kegalauan yang hebat.
Ku ucapkan salam pada pamanku yang berada di ruangtamu dan paman mempersilahkanku masuk. Ternyata Inah masih berada di dapur tuk membuat teh hangat bagi dirinya. Segera saja ku hampiri Inah dan ku bisiki di telinga kirinya tuk segera masuk ke kamar.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu” bisikku lirih.
Rupanya Inah mengerti maksud pembicaraanku dengan menganggukkan kepalanya.
Aku dan Inah sudah berada dalam kamar Inah yang hangat, ku keluarkan surat tadi dalam balutan kain merah dalam sakuku. Ku tunjukkan keduanya, Inah pun mengernyitkan dahinya dan mencoba menangkap maksud yang kusampaikan. Ia masih bingung kemudian bertanya.
“Apa maksudmu menunjukkanku surat-surat ini? Kau ingin aku membacanya?” Tanya Inah.
“Tidak, coba perhatikan tulisannya, ada yang berubah, sehingga aku bertanya-tanya kenapa tulisannya tidak sama sedangkan bahasa yang dipakainya sama.” Jawabku pada Inah.
Inah kembali meneliti tulisan antara kedua surat itu dan masih belum mengerti maksudku.
“Apanya yang berbeda, wong sama seperti ini, kok dibilang beda. Aneh kamu Mun!” sahutnya.
“Ah, coba perhatikan beberapa huruf yang tidak sama, dari situlah aku bertanya” jawabku sigap sambil menunjukkan huruf mana yang ditulis berbeda.
“Oh, iya, sekarang aku mengerti, maksudmu, kau pasti berpikir bahwa yang mengirim bukan Pardjo kan?” perjelas Inah padaku.
“Ya, karena itu aku datang kesini, karena engaku yang menerima surat ini terlebih dahulu dan kemudian kau berikan padaku tadi pagi” sahutku.
“Ya, aku juga tidak mengerti, karena yang menerima surat ini pertama kali juga bukan aku, melainkan ibuku. Coba aku tanyakan sebentar pada ibu.” sahut Inah sambil beranjak meninggalkanku.
Tinggal aku sendiri dalam kamar dengan dua surat yang berbeda. Terbesit dalam hati kerinduan yang terbayarkan dengan senang kemudian berubah menjadi kejanggalan yang mendalam dalam benakku.
Ku buka jendela, hawa dingin masuk menusuk kulitku yang tipis, dingin terasa sejuk dalam hati yang kalut. Sejenak ku teringat pada senyumnya yang meriah yang membuatku tergoda dan merasakan buaian cinta yang mengalir deras ke lubuk hati yang dangkal.
Sudut bibir yang menarik, lesung pipit yang mengapit keduanya, menunjukkan senyumnya yang merekah, manis terasa dalam pandangan mata, sorot matanya yang tajam di bawah alis yangtebal dan bulu mata yang lentik membuatku tidak bisa bergerak lagi, hidungnya yang mancung dan kulitnya yang kuning kecoklatan terlihat tampan di wajahnya membuatku jatuh cinta padanya untuk pertama kalinya dalam hidupku dan untuk selamanya.
Rasa itu menyeruak dari dalam batin, dahaga terasa, rindupun muncul bertubi-tubi dan tetap tertahan dalam kekosongan saat ku tatap lagi surat yang kedua itu.
“Mun, ternyat ibuku dapat dari tukang pos dua hari yang lalu, kemudian ibu berikan padaku karena ditujukan kepadaku, sebelum itu ibu membuka surat itu, karena takut kalau aku dapat surat dari seseorang, ternyata setelah ibu buka, hanya da pesan di atas suratmu itu untuk ku berikan padamu” jelas Indah sedari ibunya.
Aku pun terperangah mendnegar penjelasan itu. Aku menangkap ada sesuatu di balik surat itu. Inah pun menguraikan, mungkin Pardjo sengaja mengirim surat itu padaku, Karena jika surat itu ditujukan kepadamu, maka tidak akan pernah sampai ke tanganmu, lantaran ditahan oleh ayahmu, mungkin juga dibakar atau dibuang.
“Ya, aku piker juga demikian, betul katamu itu Nah” sahutku sambil tersenyum, meskipun dalam hati masih bertanya-tanya ada apa di balik ini semua.
Setelah satu jam berada di rumah Inah, aku kembali pulang, takut ayahku mencariku nanti. Berpamitan ku pada paman dan bibi juga Inah. Berjalan kembali ku menyusuri jalan dimana kenangan itu kembali terlintas. Tak sadar kuberhenti dan terpaku dengan keadaan. Malam ini malam bulan purnama. Persis malam yang 8 bulan lalu ku melihat lelaki menengadah pada Tuhan di atas sana sambil melontarkan ceracahnya meminta keadilan dan jawaban atas semuanya. Semilir angin membawaku pada suasana hening malam itu ketika hanya suara biduan yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan diiringi deburan ombak dan bunyi perahu-perahu yang berhimpitan. Saat itu aku tidak hanya mendengarkan, juga merasakan, dan tahu apa artinya kehilangan dan ditinggal orang yang kita sayangi. Sakit, sesak menghujam dadaku sangat. Meleleh sudah air mata ini melewati kelokan sudut-sudut mata dan mengalir deras menuruni wajahku yang dingin tersapu angina. Hangat terasa, sesak di dada membuatku meneruskan langkah dan meninggalkan kenangan dalam pekatnya malam.
Lima meter lagi, rumahku dapat ku gapai, secepat mungkin air mata ini ku hapus, malu aku jika ada tetangga lai yang melihat. Biar aku sendiri yang tahu dan mengerti apa yang kurasakan.
Malam semakin pekat, pintu rumah sudah ku pegang, segera ku buka dan ku dapati ayahku masih asik menghisap rokoknya sambil membaca sebuah buku berjudul “Sabana” bersampul warna hijau. Ku ucapkan salam kemudian masuk dan menuju pintu kamarku. Tapi ada yang tidak enak timbul dalam hati. Ku pandang ayahku, dan mencoba menangkap sesuatu yang tidak biasa berada di dekatnya.
Kosong, tidak ada sesuatu yang berubah, hanya perasaanku saja yang terbawa saat pulang di jalan itu. Ku buka pintu kamarku dan astaga, terperanjat ku melihat kado warna merah berbentuk kotak berhias pita merah muda menambah aksen romantis ketika seseorang melihatnya. Bagiku bukan hal romantos kali ini yang terjadi melainkan hal yang mencurigakan bagiku.
Tersentak ku dalam sekejap ketika ayah memanggilku dalam keadaan yang begitu tidak biasa bagiku.
“Mun, kado dalam kamarmu itu, ayah yang menaruhnya, itu pemberian dari anak saudagar teman ayah, ayo segera buka kado itu, mungkin ada sesuatu untukmu” ucap ayah.
“Ya, ayah” sahutku pelan.
Segera saja ku buka kado itu, isinya berupa selembar kain berwarna merah dipadu dengan motif bunga dan manik-manik hitam serta kainnya yang halus dan dingin menambah mahalnya hadiah ini untukku. Sejenak hatiku senang, tapi beberapa waktu kemudian aku berpikir bertapa senangnya aku jika yang memberiku ini adalah Pardjo, lelaki yang kucintai yang bisa membuat pipiku merona laiknya bunga sakura yang tidak pernah ku tahu bentuknya.
*****
Tak lama kemudian ku tutup kado itu rapat-rapat dan kurapikan lalu kuletakkan di atas lemari pakaian. Malas ku menerima kado itu.
“Mun, bagaimana isinya, bagus?” tanya ayah dari luar.
“Ya, Ayah, bagus sekali” jawabku sambil mengernyitkan dahiku.
Andai saja yang memeberikan kado itu adalah dia, pasti sudah ku peluk erat dank u timang-timang menahbiskan kerinduan. Saying, cintaku berbatas antara sungai Ciliwung dan kali Brantas.
Setelah sekian lama menanti, tak kunjung jua surat yang ku tunggu-tunggu dating padaku. Tapi, penantianku musnah sudah seketiaka dua surat dating bersamaan pagi-pagi saat ku sendiri sedang asyik memasak dan ayah sedang melaut. Pak pos dating membawa surat dalam balutan amplop berwarna hijau muda dan merah tua. Hatiku pun berdetak, karena stempelnya dari kota yang sama yakni ibukota.
“Apakah ada dua orang di sana yang tahu dan mengerti isi hatiku sekarang” tanyaku dalam batin.
Segera saja ku tanda tangani lembar disposal tuk menandakan bahwa surat telah diterima oleh yang bersangkutan.
Tak lama berselang, aku lipat dua surat itu dan menaruhnya dalam saku. Masak ku selesaikan, mandi, dan berganti pakaian. Heran yang terasa dalam hati menjadi getir ketika ku buka surat yang beramplop merah tua. Kaget, bukan main, tersentak ku dalam kegamangan. Edi Baskoro, nama yang tidak pernah ku dengar kali ini ia mengirimkan surat yang berisi ajakan menikah dengannya bulan depan. Hah, mana mungkin aku mau menikah dengan orang yang tidak ku kenal. Apalagi cinta! Kembali ia menjelaskan dalam surat itu, bahwa dialah yang mengirimkan surat sebelumnya, dan mengapa ia mengirimkannya, lantaran ia ingin membaca balasan surat dariku yang tak kunjung ku balas hingga sekarang.
Sekarang ku tahu maksudnya, dia ingin melamarku dengan memberikan hadiah 17 hari yang lalu. Tidak segampang itu Edi meminangku, aku tidak suka kau, pikirku dalam batin, segera ku tamatkan dan kutaruh di atas meja kamarku. Ku buka surat yang kedua, surat yang tidak ku sangka kedatangannya. Surat yang mencairkan kerinduanku. Surat dari lelakiku Pardjo. Ia menerangkan bahwa ia di ibukota bekerja sebagai buruh di perusahaan konveksi. Ia bekerja sebagai pengatur order karena kejujurannya dalam bekerja. Alangkah bahagianya diriku. Mencair sudah rinduku yang beku, menguap disambut hangat cinta menimbulkan aurora di kutub-kutub rinduku dalam hati, melayang sudah diriku dalam asa yang dapat segera ku gapai.
Tak ku teruskan pembacaanku pada surat itu, karena sudah terlampau senang dan melupakan semuanya. Bak putri baginda-permaisuri yang hendak di pinang oleh pangeran berkuda putih dari negeri seberang, tak ayal ku merasa seperti bidadari yang mempunyai magic di negeri dongeng. Oh, betapa senangnya hatiku, keluar dari rumah, menari-nari di halaman sambil mengenggam surat itu. Ku sapa semua orang yang melihat dan melintas di halaman rumahku. Mereka heran mengapa aku bertingkah seperti ini. Terbesit dalam hati, biarkan saja aku seperti ini, inilah rasa yang terpendam selama delapan bulan tujuh belas hari dalam kegamangan. Apakah mereka tidak pernah muda dan merasakan hal ini. Tertawa saja aku dengan senyuman yang merekah. Berlari menuju pantai, membaur dengan semilir angin dan riuhnya debur ombak diiringi oleh celoteh camar yang melihatku riang. Pagi yang gemilang.
Tak sadar dalam keindahan, aku lupa bahwa air di kamar mandi belum sempat aku matikan dan sekarang meluber kemana-mana termasuk dapur, ruang tamu, dan sedikit masuk ke kamarku dan kamar ayahku. Astaga. Tetangggaku meneriakiku akan hal itu. Kaget. Aku segera berlari mendapati kamar mandi sudah penuh dengan air setinggi mata kaki yang sudah melahap separuh lantai rumahku. Cepat-cepat ku matikan dan membuang airnya keluar rumah. Tak sempat lagi ku teruskan membaca surat karena panic dan omelan yang terus menerus datang dari tetangga sebelah rumahku. Sedih dan senang bercampur jadi satu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11.00, berarti sudah 2 jam aku membersihkan rumah dari genangan air yang tak kunjung kering. Pagal rasanya pada pundak dan kakiku.
Istirahat sebentar saja sambil meneruskan kembali surat dari kekasihku itu. Sejenak terbayang ia datang padaku dengan memakai kemeja hijau putih kotak-kotak bergaris hitam dengan celana jeans hitam, sepatu kulit sambil membawa bunga mawar kuning kesukaanku. Ia dating dengan senyumannya yang khas dan sinar matanya yang membuatku tak bias berkutik. Lesung pipinya membuatnya semakin tampan, ia tak lagi hitam seperti delapan bulan tujuh belas hari yang lalu, ia semakin kuning dan bersih dengan rambutnya yang ikal itu. Ia tetap memandangku tanpa sedetik pun mengubah pandangannya. Aku tersipu malu meskipun dalam hati senang, buliran cinta mengalun gendang sukma menyampaikan getarnya pada pipiku yang mulai merona laiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya. Ia tersenyum, kali ini giginya yang rapi terlihat sedikit, semakin malu aku dipandangnya. Jam dinding di tembok tiba-tiba berdentang dengan keras, pecah sudah lamunanku dalam sesaat, dan pardjo lenyap begitu saja dalam pandanganku. Ah, ternyata  aku terbawa mimpi selam kurang lebih tiga puluh menit. Sedih terasa. Coba jam bias mengerti aku yang sedang merajuk dalam mimpi, mungkin saja aku tidak akan memaki-maki jam itu seperti orang gila. Tapi, ia tidak pernah bias mengerti keadaan orang disekelilingnya. Ia hanya tahu ketika jari-jarinya menunjuk waktu 11.30, maka ia akan berteriak dua kali dengan keras, itu menandakan bahwa matahari sudah hampir di titik nol di atas bumi.
Ya sudahlah, segera ku lihat isi rumahku, apakah air sudah kering. Ternyata masih menyisakan sedikit genangan di bawah rak piring, tak apalah ketimbang tadi.
Surat ku simpan kembali dalam saku, kali ini aku akan menyimpannya dengan baik dan membalasanya tanpa diketahui ayahku. Aku ke kamar mandi dan mengambil air wudhu karena adzan sudah dikumandangkan, rukuh ku ambil dalam lemari dan segera bersujud syukur ku pada Tuhan yang telah mengabulkan semua doaku. Laksan taman syurga yang hijau dan luas, beraneka ragam hayati dan burung-burung bersahutan , beralaskan permadani. Ku rasakan kebesaranNya dalam hati. Sejenak ku berdoa setelah melaksanakan rukun di Langgar belakang rumah.
Setelah selesai memohon ampun dan berdoa pada Ilahi, ku persiapkan semuanya dengan rapi. Setelah itu ku raih lagi surat yang kumasukkan dalam saku rok merahku tadi. Ku baca lagi dari awal dengan senyuman dalam hati dan dibibir, sungguh mengejutkan mengetahui bahwa kado merah tujuh belas hari yang lalu adalah hadiah dari Pardjo, lelakiku itu. Ia mengirimkan dengan hanya menulis inisial “P” saja yang membuatku bertanya-tanya kado itu dari siapa.
Lengkap sudah kegembiraanku kali ini. Hari-hari terasa sangat menyenangkan bagiku. Dan kami berdua saling berbalas surat yang kami terima setiap seminggu sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

beri komentar ya setelah baca atau hanya melihat aja.... thanks