Translate

Rabu, 02 Mei 2012

Cerpenku : #1 Lelaki Itu Bernama Pardjo

Lelaki Itu Bernama Pardjo
Oleh: Ahmad Sayuthie Al-Malik, S.Pd


Temaram senja menggelayut menyelimuti bibir tanjung yang penuh sampan. Sang surya telah berpeluh meniti jejak ke lapaknya. Embun mengabut senja menutupi sebagian pantai dengan heningnya. Samar-samar suara biduan terdengar dari kejauhan. Tampak bayang hitam menengadah dalam pelukan kabut. Seperti kaku tak bernyawa tapi menitikkan air mata mata air keringat seharian menggoda lidah samudra dengan sampan dan jaring-jaringnya yang kusut dan amis. Seorang lelaki sedang meninggikan tengadahnya pada rembulan yang baru terjaga dari haribaannya berwajah pucat pasi.

“Aku harus bagaimana lagi Yang Maha Agung?” teriaknya sambil meringis menahan berisik pikiran dan degup jantungnya.

Kelabu semakin pekat dengan sifatnya. Lelaki itu masih saja meneguhkan dagunya pada langit-langit dan bintang-bintang nan indah di pekatnya malam. Masih terdengar samar-samar suara biduan dari kejauhan melebur dengan siulan angin pelabuhan kampung nelayan. Stagnan, itu yang tampak pada senyuman rembulan.  Jaring-jaringnya ia rapikan supaya ketika menggoda lidah samudra ia tak kesulitan dan ikan-ikan yang ia tangkap menari riang. Tapi musim sedang tak menentu, angin tak berpihak padanya. Samudra pun acuh dengan kedatangannya.

Masih saja terlihat dagu itu tertegun menengadah mengarah rembulan dan kerlip bintang. Lelaki itu menitikkan air mata mata air keringat yang meluncur deras dari hulu kanan-kiri mata menuju hilir sudut bibir yang kering tersapu angin. Gemeretak terdengar jelas diantara sampan-sampan yang tertata rapi seperti murid yang sedang mendapat pelajaran baris-berbaris sewaktu jaman kompeni enam puluh lima tahun silam. Tapi, bukan itu yang ingin ia dengar. Bukan pula debur ombak mencium garangnya karang. Tidak juga suara biduan yang melebur dari kejauhan.

Pucuk-pucuk kelapa mendendangkan nyiurnya menari bersama deburan ombak yang terasa manis bagai ikan-ikan teri yang miris seperti tubuhnya yang teriris. Lelaki paruh baya itu berjalan keluar dari selimut tebal kabutnya. Terlihat legam kulit membalut kerasnya tulang dan kuatnya urat nadi dalam pekatnya malam. Serak suara parau burung rangkong melintas di atasnya. Bergegas ia perlahan meninggalkan jejaknya di derit-derit lapak sampan dan pelabuhan tempat ia menegadahkan dagunya pada Yang Agung. Ia menghilang di balik pekatnya malam meniti jalan menangkap suara biduan yang terdengar samar dari kejauhan.

Debur ombak mengelus bibir pantai dengan mesranya, kampung nelayan mulai riuh sejak angin berhembus ke barat. Anak-anak dan ibunya bermain bersama di dekat pantai dan pohon kelapa. Seperti pertanda baik untuk melaut hari ini. Tapi tak terlihat lelaki yang tadi malam menengadahkan dagunya pada rembulan. Tak terlihat juga sampan yang ia kaitkan pada kayu di pinggir pelabuhan. Kemana ia pergi? Semua terlihat riuh dengan sampannya masing-masing. Semua keluarga mengiringi suami dan ayahnya melaut mencari nafkah buat mereka. Dengan melambaikan tangan dan jemari yang lentik serta berbaur dengan tangisan dan ringkihan anak-anak mereka.

Separang taru berkurulan, darba harma tahi bato” tutur lelaki kepada saudaranya yang kebetulan bukan asli penduduk kampung nelayan.

Aku tak paham artinya, yang terpikir adalah ucapan salam ketika ingin melaut. Debur ombak menari-nari seraya memanggil-manggil para nelayan untuk bergabung dengan birunya samudra.

Ku picingkan mataku ke birunya laut, pelan-pelan ku perhatikan dengan harapan melihat laki-laki itu, rambutku yang terurai sebentar-sebentar menitipkan pesan lewat pekatnya bau pelabuhan. Ku berdegub, ketika ku melihat sosok yang tak asing dari pandanganku. Ya, dia lelaki itu. Lelaki yang menengadahkan dagunya pada rembulan. Tapi , kenapa dia berada di atas sauh yang bukan sampannya. Kemana sampan yang selalu menemaninya ketika bergelut dengan gelombang laut.

Pertanyaan-pertanyaan itu masih saja terus berkelip-kelip di dalam kepalaku yang panas tersengat paraunya pelita surya. Rambutku masih saja memekikkan pesan yang tersambung lewat nyiurnya daun kelapa dan deburnya ombak. Lelaki itu terlihat kusut. Aku tak berani menatapnya terlalu lama. Entah kenapa, perasaanku mengatakan demikian. Lelaki yang malam itu diselimuti kabut, sama dengan lelaki yang lima tahun silam memberikan bunga flamboyan di depan sampan di dekat pelabuhan. Ya, lelaki yang membuatku terpesona dengan kegigihannya. Lelaki yang membuatku tersenyum ketika merana. Aku, perempuan yang tak ingin menjalin kasih dengan lelaki yang pengecut harus tunduk pada lelaki yang membesarkanku dirumah yang tak jauh dari laut. Ayahku tepatnya.

Masih saja terpekik suara raungan samudra. Lelaki itu bergerak menuju sisi pelabuhan, membawa jaring untuk mencari nafkahnya diantara buih-buih asin laut. Lelaki itu melayangkan senyum simpulnya ke arah dimana aku berdiri. Tanpa sadar akupun membalasnya. Ah, betapa nikmat melayangkan senyum meskipun jauh dipandang mata. Gelembung-gelembung kasih seraya berbaur dengan deru gelombang-gelombang asmara yang tergugah dari dasar samudra batinku. Pipiku merona selaiknya bunga sakura yang tak pernah kutahu bentuknya.

Ikan-ikan bertaburan dalam hamparan biru gelombang keputihan, anak-anak kecil gembira ria bermain pasir di pinggir pantai, jari-jemari kelapa melambai-lambaikan nyiurnya, riuh suara burung camar mencicit di tingginya langit, debur ombak bertemu kokohnya karang menciptakan alunan genderang yang mengagumkan menandakan perang dengan lautan bagi para nelayan.

Te kate lambo nan aluih
la ngan karsa di mato tak bertuak tuahnya
buih-buih nan berselayang caya
le tango de dan beta layato

Alunan merdu itu seraya ku dengar sayup-sayup dari para tetua kampung ini. Aku juga menyanyikannya dengan hati-hati, sebab aku tak ingin lelaki itu mendapat musibah nantinya dan mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Aku menitikkan air mataku ketika teringat hal yang sama dua tahun lalu. Aku masih berdiri di tempat yang sama. Di balik pohon kelapa yang menjulang tinggi diatasku, berada lima belas meter jauhnya dari sisi pelabuhan dimana lelaki  itu melayangkan senyum yang sama hangatnya padaku sore itu. Ah, aku tak pantas menangis, aku malu pada burung camar yang senantiasa mencicit di bawah megahnya langit kampung nelayan ini.

Ya, sudah lima tahun aku memendam perasaan ini pada sosok lelaki yang sama yang bisa membuat pipiku merona laiknya bunga sakura di musim bunga yang tak pernah ku tahu bentuknya. Dalam diriku ada sungai yang mengalir dan terus berputar layaknnya ombak yang bergulung-gulung membentuk sentuhan-sentuhan alami, jantungku berdetak, was-was perasaanku timbul tenggelam, hatiku bergemuruh, tak kuasa menahan getir perasaan ketika di tinggal mencari nafkah di balik buih gelombang lautan. “Akankah kau kembali padaku?” kata-kata itu yang sering kali muncul di pikiranku melalui saraf-saraf yang mengantarkan listrik dari hati yang gundah untuk diterjemahkan dalam kata-kata seperti itu.

Sudah lama sekali aku menunggu untuk dipinang oleh lelaki itu, tapi apa dia juga merasa seperti yang aku rasa. Aku berbicara sendiri di bawah daun pohon yang lambai. Tiba-tiba suara yang tak asing bagiku terdengar menggelegar seperti petir di kala badai datang dalam memoriku.

Ayahku, ya itu suara ayahku, ayah yang tak pernah mau mengerti isi hatiku, ayah yang tak pernah mengerti keinginanku, ayah yang selalu memaksakan kehendaknya hanya dengan dalih “supaya masa depanmu cerah nanti, terimalah pinangan anak saudagar kaya itu”.

Cuih, ingin memaki rasanya, sesak dada ini mendengar kata-kata itu setiap hari. Ingin ku berontak lari dari rumah menyusuri pantai dan berseloroh sekencang-kencangnya sampai bunyi gema amarahku terdengar sampai tengah lautan.

Aku Siti Maimunah binti Parmin, gadis yang selalu dikekang kehidupannya oleh ayah kandungku sendiri. Dan lelaki itu, lelaki dengan sampan dan jala lusuh ditangannya adalah lelaki yang mempunyai nama manis semanis senyumnya yang bisa membuat pipiku merona laiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya. Ya, lelaki itu bernama Pardjo, Supardjo bin Sutaji, anak dari orang yang paling pojok rumahnya di kampung ini. Lelaki yang sedari masa kanak-kanak selalu membuat riang hatiku dikala aku dilanda sedih.

Dulu, sewaktu kami masih kecil, kami sering bermain bersama dengan teman sebaya kami ketika fajar menyingsing dari garis jauh samudra diantara awan-awan kelabu. Bermain buih-buih ombak yang bergelembung diantara pasir putih yang tertata seperti permadani. Kawan laki-lakiku berlomba memanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya, kawan-kawa perempuanku serta aku sibuk mencari gula merah dan es batu untuk menyambut kelap muda yang diterbangkan dari pucuk-pucuk kelapa. Senangnya hati kami, setelah semuanya siap, kami berebutan untuk segera menyantap hidangan yang segar dan manis. Dahaga yang terbayarkan untuk setiap detil tegukan air kelapa muda yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Hanya sebatas ungkapan ‘lega’ disertai seloroh-seloroh lucu anak kecil seusia kami.

“Mun, janganlah kau dekat-dekat ombak itu!” teriak Pardjo sambil duduk disebuah batu karang di pinggir pelabuhan.
Aku diam saja, karena aku merasa diperhatikan oleh seorang lelaki yang senyumnya manis. Aku merasa senang sekali.
“Jo, ada kapal datang, kelihatannya ayahmu yang melambaikan tangan itu, lihatlah Jo!” teriak Umam di tengah-tengah pohon kelapa yang baru saja ia panjat itu.
“Mam, itu bukan ayahku, melainkan ayahnya si Mumun” balas Pardjo dari bawah.
“Mun, itu ayahmu, melambaikan tangan padamu, cepatlah kesana barangkali ayahmu membawakan ikan kesukaanmu itu” lanjut Pardjo dengan lantangnya padaku.

Aku yang mendengar segera berlari menuju pelabuhan tepat dimana kapal ayahku akan berhenti. Pardjo dan Umam tertawa lepas, karena ingin cepat-cepat menyambut ayahku, aku terjatuh dan mukaku kotor dengan pasir. Aku malu, aku menangis, kawan-kawan perempuanku memarahi mereka karena menertawakanku dan tidak mau menolong. Aku bangkit dan berlari karena untuk menemui ayahku dan menyamarkan sikap maluku yang tergambar jelas diraut wajah pada kawan-kawanku, terutama Pardjo.

“Hati-hati Mun, nanti jatuh lagi lho kamu,” gelak Pardjo padaku.

Kata-kata itu yang membuat aku bertambah malu dan ingin berlari secepat mungkin agar bisa sampai pada ayahku.

Kawan-kawan perempuanku menyusulku berlari, mereka mencibir tingkah laku kawan-kawan laki-lakiku. Mereka juga berlari lantaran ayah mereka juga datang pada hari yang sama, dan dalam kapal yang sama. Begitu juga Umam, begitu ia tahu ayahnya turun dari geladak kapal. Umam dengan segera turun dari pohon kelapa dan segera berlari menyusul kami. Tetapi tidak dengan Pardjo, dia diam saja melihat kawan-kawannya berlarian menuju pelabuhan menyambut ayah mereka masing-masing, termasuk aku dan ayahku.
Kembali aku merasa sedih melihat Pardjo yang sendirian ditemani batu karang. Bergegas aku mendatangi dia setelah menyambut kedatangan ayahku dari laut. Aku berlari kecil karena takut hal yang paling tidak ku inginkan terjadi lagi.

“Pardjo” sapaku.
“Sedang apa kau sendirian disini? Apa kau sedang menunggu ayahmu datang?” tanyaku pelan padanya.
“Tidak, aku sedang menikmati belaian samudra lewat debur ombak yang menari-nari menghibur diri” sahutnya dengan cekatan.
“Jo, janganlah kau sedih, lantaran ayahmu tak kunjung datang. Masih ada sanak saudaramu dan kawan-kawanmu disini yang setia  menemanimu, termasuk aku, Mumun.” hiburku padanya ketika mendengar kerinduan pada ayahnya lewat kata-kata yang puitis itu.

Ya, Pardjo memang salah satu murid terpandai ketika guru di Sekolah Dasar kami menyuruh membuat puisi, dan itu diakui mulai dari kelas dua hingga kelas enam di Sekolah Dasar kami yang terletak di ujung kampung kami yaitu Sekolah Dasar Ombak Berbuih. Sekolah yang  mempertemukan kami untuk bercanda, bermain, melempar seloroh dan berkelana menyusuri garis pantai yang semuanya berwarna putih lantaran pasir putih yang terhampar seperti permadani.

“Jo, memangnya ayahmu pergi kemana, lama sekali aku tidak melihat ayahmu” tanyaku pelan.
“Ayahku sedang merantau ke Ibukota untuk mencari nafkah demi mengubah hidup keluarga kami, terutama untuk mencari biaya pengobatan ibuku yang sedang sakit” jawabnya dengan muka tertunduk.
“Oh, maaf aku tak bermaksud untuk tahu lebih dalam, aku hanya sebatas ingin tahu saja Jo, maafkan aku ya  kalau aku menyinggung perasaanmu” sahutku pelan-pelan karena tak kuasa melihat muka lelaki yang ku sukai tertunduk di depan mataku.
“Iya Mun, tak apa-apa” jawab Pardjo dengan malas.

Aku seraya mengembangkan senyumku tuk menghibur suasan hati Pardjo yang sedih. Aku pun merasa sedih karena lelaki itu sedih, entah mengapa aku turut sedih. Tetapi perasaan ini adalah wajar, karena kau melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau orang yang sangat kusukai ini bertunduk muka dihadapanku, dan akupun tak kuasa menahan buliran-buliran airmata yang mengalir deras dari hulu sudut mataku menuruni bukit halus pipiku dan bermuara di hilir sudut bibirku. Asin terasa tetapi aku tidak kuasa menahannya, apakah ini yang dinamakan ‘pilu’. Sebelum Pardjomenoleh kearahku, cepat-cepat kuhapus aliran hangat yang melelah dibukit pipiku. Kemudian mengembangkan senyum, mengelabuhi hatiku yang turut sedih.

“Kamu kenapa Mun?” Tanya Pardjo pelan.
“Ah, aku tak kenapa-kenapa” jawabku setengah kaget ternyata yang bertanya adalah Inah, kawanku bermain yang juga adalah sepupuku. 
Aku masih meluluhkan airmataku, aku baru sadar bahwa aku terbawa lamunanku pada saat kami masih kecil, ketika aku melihatnya bertunduk muka dihadapanku karena rindu akan ayahnya yang merantau.
“Kamu kenapa Mun?” Tanya Inah pelan sambil menepuk pelan bahuku untuk yang kedua kalinya.
“Tidak, Inah, aku tidak kenapa-kenapa” jawabku sembari menghapus airmataku yang masih ada bekas bulirannya.
“Ayo, kita kembali ke kampung, kamu sudah lama dicari-cari Ayahmu sedari tadi, tidak tahunya kamu berada di sini diatas karang” ajaknya.

Aku tersenyum, sambil membenarkan rambutku yang terurai bergelayut dihembus angin laut. Aku turun dari batu karang tempat lelaki yang ku sukai menundukkan muka. Sembari berjalan pulang, burung camar mengantar ku dengan riuhnya cicitan dari pucuk paruhnya yang hitam itu. Tanganku pun digandeng oleh Inah supaya aku berjalan lebih cepat  karena hari sudah mulai tepat untuk menghantar mentari tenggelam di ufuk barat.

Debur ombakpun menyuruhku tuk segera pulang dengan segera. Sedangkan hatiku tak ingin segera kembali pulang, lantaran aku menunggu lelaki itu pulang. Tak etis memang kedengarannya, aku belum menikah dengannya, tetapi aku ingin menunggunya selaiknya istri yang menunggu suaminya pulang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Ya, perasaan itulah yang sekarang kurasakan dalam dinginnya udara dikampung nelayan ini yang mengantarku hingga pintu pagar rumahku.

“Mun, segeralah kamu masuk, ayahmu sudah dari tadi menunggumu” ucap Inah.
“Ya, terimakasih ya Nah” sahutku padanya.
“Aku pulang dulu ya Mun, hari sudah hampir gelap, aku takut kalau ibuku nanti mencariku karena kau belum sampai rumah dan hari sudah mulai gelap” sahutnya pula.
“Ya, hati-hati ya Nah” jawabku sembari menarik sudut-sudut bibirku kearahnya.

Inah segera berjalan pulang sembari melambaikan  tangannya. Akupun melambaikan tangan juga. Segera setelah terlihat gak jauh, aku masuk ke rumah. Terdengar pula suara Adzan yang menggaung dari arah sebelah barat rumahku. Aku masuk kemudian menutup pintu. Ayahku pun sudah menunggu di ruang tamu. 
Ditanyanya kemana aku pergi dari tadi siang hingga hampir malam ini aku baru tiba di rumah. 

“Mun, dari mana saja engkau dari tadi siang sampai hampir malam ini?” Tanya ayah padaku.

Aku hanya diam saja, tanpa melihat dan menegur pertanyaan ayahku. Aku tak ingin menjawab, sekalipun tak ingin menjawab. Aku sudah tahu maksud dari ayahku menanyakan hal itu. Maka dari itu sesegera mungkin aku masuk kamar dan berdiam diri disudut tempat tidur yang berhadapan langsung dengan jendela yang mengarah ke laut.

Terdengar suara jangkrik yang mengeras di heningnya malam, temaram senja yang mulai merah redup ditelan samudra. Sayup-sayup terdengar suara biduan dari kejauhan bercampur dengan deburan ombak dan benturan kapal-kapal yang tertata rapi di pinggir pelabuhan.

Suara yang sering ku dengar sekian lama aku hidup disini dalam kegamangan hati yang kian lama kian mendalam. Suara yang sering ku jadikan lagu pengobat rindu di kala aku di tinggal melaut oleh lelaki yang bisa membuat pipiku merona selaiknya bunga sakura yang tek pernah ku tahu bentuknya.

Waktu itu, aku masih berumur enam belas tahun dan lelaki itu berumur satu tahun lebih tua dariku meskipun kami satu kelas sewaktu sekolah di Sekolah Menengah Atas Ombak Berbuih di kampung kami ini. Ia adalah lelaki yang cerdas, tidak mudah menyerah, dan selalu mendapat peringkat karena prestasisa yang gemilang di masa itu. Aku adalah salah satu dari segelintir perempuan yang suka terhadap pribadi Pardjo. Bukan karena kecerdasannya, melainkan sikapnya yang bias membuatku tersenyum dan tak merasa sedih dikala duka melanda perasaanku. Duka yang tak pernah akan hilang dari ingatanku, duka yang telah merenggut nyawa ibuku dalam keadaan sakit yang tak pernah diberitahu dan tak pernah diketahui oleh ayahku, saudar-saudarku, dan terutama aku.

Pardjo, lelaki yang tidak pernah bisa merasakan kasih sayang ayahnya yang merantau kepulau orang. Tak beda denganku, aku adalah perempuan yang masih haus kasih sayang ibuku, sejak ditinggal delapan tahun silam. Kami berdua sama-sama haus kasih sayang. Tetapi kami berbeda dalam kesetaraan hidup. Ayahku adalah mandor dari sepuluh kapal nelayan yang berlayar dari kampung ini. Sedangkan keluarganya adalah keluarga dengan kehendak alam memaksakan Pardjo menjadi tulang punggung keluarganya, merawat ibunya yang sedang sakit dari sebelas tahun silam yang memberangkatkan ayahnya merantau ke ibukota untuk mencari nafkah dan biaya untuk pengobatan ibunya.

Lama sudah Pardjo menanti kedatangan ayahnya setiap kali ada kapal besar berlabuh di kampung kami. Sudah sekian tahun lamanya ayahnya tak kunjung pulang. Terdengar kabar burung bahwa ayahnya sudah berkeluarga lagi di sana. Maka ia tak mau pulang, karena di ibukota berbagai kebutuhan tersedia, tidak seperti di kampung ini. Aku merasakan sakitnya hati lelaki itu, hati yang teriris mendengar kabar burung seperti itu. Perih yang terasa, penantian panjang yang terbayar oleh kabar burung yang memekakkan telinga dan membuat hati berdenyut sakit mengantar simpul-simpul kebencian dalam darah.

Tapi Pardjo tidak seperti yang kupikirkan. Pardjo dengan sikap yang biasa menyambut kabar burung itu. Masih ingat aku pada kata-katanya yang terdengar jelas dari arah berlawanan denganku. Saat itu kau juga sedang menunggu kedatangan ayahku dari berlayar selam sepuluh hari di birunya samudra.

“Tidak mungkin ayahku melupakan kami, keluarganya di sini, dan lebih memilih berkeluarga di sana di ibukota dengan oranglain yang semua kebutuhan hidup lengkap dan dapat terpenuhi sesuai keinginan dan isi kantong” sahutnya dnegan tegas terhadap cletukan orang-orang yang mengaku pernah bertemu dengan ayahnya, Sutaji.
“Lapang benar hati Jo” sahutku dalam batin.

Segera setelah menjawab kabar burung itu, lelaki itu kembali menuju sampannya, menyiapkan jala, menatanya dengan rapi, menyiapkan bekal dengan setumpuk harapan agar bias kembali dengan hasil yang maksimal. Aku memperhatikannya dengan detil sejka tadi sampai kau terlupa kalau ayahku sudah berada satu meter dihadapanku. Kaget, itulah yang pertama kali kurasakan ketika ayahku menyapaku dengan lantang. Perhatianku pada lelaki itu langsung berpindah dengan salah tingkah di hadapan ayahku. 

Aku malu, ketika ayahku tahu bahwa aku memperhatikan Pardjo sedari tadi sampai-sampai ayahku tiba aku tidak tahu. Ayah berseloroh.

“Rupanya anak gadisku sudah mulai paham dan mengerti tentang anak laki-laki” selorohnya.
“Ah, ayah, tidak Yah, aku tadi sedang melamun saja” sahutku dengan muka berkeringat dingin.
“Mun, ayah tahu apa yang kau rasakan, sudahlah belum waktunya kau rasakan itu” sahut ayah dengan nada agak tegas.
“Iya, Yah” jawabku untuk mengalihkan perhatian ayahku terhadapa apa yang aku rasakan dalam dadaku.

Ayah dan aku bergegas pulang, ayah membawakanku ikan kesukaanku yaitu ikan kerapu, beliau bawakan tiga ekor. Tak kusangka ternyata Pardjo memperhatikanku. Ku tahu ketika aku tidak sengaja menoleh kearahnya, dan ia melemparkan senyuman kepadaku. Akupun segera membalas senyumnya meskipun terhalang oleh lalu lalang orang-orang kampung yang sibuk dengan hiruk-pikuk pekerjaannya masing-masing. Bau amis menambah riuh suasana dipelabuhan tepatnya di kampung kami ini.

Terdengar suara orang memukul-mukul geladak kapal yang baru saja dibenahi karena menabrak karang. Sayup-sayup semakin lama semakin keras. Aku tersentak dari lamunanku, lamunan yang membawaku kembali ke suasana masa-masa indah sewaktu kami saling melayangkan senyum meskipun terhalang oleh hiruk-pikuk orang yang lalu-lalang.

Dibukanya pintu kamar oleh ayah, aku dipandanginya dengan seksama. Mungkin ada yang aneh pada diriku. Ayah masuk kemudian duduk disampingku.

“Mun, kau ini kenapa?” tanya ayah. “kau akhir-akhir ini terlihat sering melamun” tambah ayah.
“Aku tidak kenapa-kenapa, Yah” jawabku dengan pelan.
“Mun, bagaimana tawaran dari anak saudagar itu? Apakah kau sudah memikirkannya matang-matang? Ayah tak mau kecewa dan ayah tak mau mengecewakanmu” Tanya ayah sembari mengusap kepalaku.
“Aku tak tahu, Yah. Aku masih belum memikirkan hal itu” jawabku pelan.

Aku paling tidak suka dengan pertanyaan itu, setiap kali ayah menemuiku, hanya hal itu saja yang selalu ditanyakan. Ayah selalu memulai hal yang paling tidak ku sukai seumur hidupku. Aku ingin bebas menentukan masa depanku sendiri, memiliki dan menerima pasangan hidupku dengan apa adanya, aku akan mencintai kekurangannya, dan mendukung kelebihannya. Laki-laki yang ku suka itu adalah lelaki yang ditinggal ayahnya merantau, membanting tulang untuk menghidupi keluarga dan mencari biaya untuk berobat ibunya. Lelaki yang bias membuatku tersenyum dan pipiku merona selaiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya. Lelaki itu adalah Jo, Supardjo bin Sutaji. Lelaki yang cerdas dan bertanggungjawab. Lelaki yang hitam manis lantaran dihempas samudra, ditempa oleh terik matahari, dan ditimang oleh angin.
Ayah kemudian keluar, duduk di ruang tamu sembari menikmati kopi. Aku berdiri kemudian menutup pintu kamarku dan menguncinya dari dalam. Setelah itu aku duduk di tempat yang sama. Aku melayangkan pandangan pada pekatnya malam. Alunan merdu ringkikan jangkrik dan debur ombak berbair menjadi simfoni yang menghantarkanku pada suasana aku dan lelakiku duduk sebangku dalam kelas berukuran enam kali tujuh meter. Salah satu kelas yang paling bawah diantara yang lainnya. Kelas yang menjadi saksi bisu ketika kau mulai merasakan detak jantungku berdegub kencang. Perasaan suka pertama kali terhadap seorang anak laki-laki yang menurutku manis.

Sekolah Menegah Pertama Ombak Berbuih. Sekolah kami tercinta, sekolah yang telah berpuluh-puluh tahun mengantarkan siswa-siswinya menggapai cita-citanya. Sekolah yang telah mengantarkan aku dan lelakiku menuju tingkat yang paling atas. Tingkat yangtidak semua anak bias mengenyam pendidikannya. Di sekolah itu, aku bersama kawan-kawan perempuanku sangat suka bermain kejar-kejaran. Suatu hari ketika istirahat tiba, kami para murid perempuan bermain di belakang sekolah, kami berkejar-kejaran. Tapi tak kusangka aku terjatuh lantaran tersandung batu yang sedikit muncul ke permukaan tanah. Aku jatuh terjerembab, seragamku kotor pada pangkal pinggangku. Lenganku tergores tanah dan menimbulkan luka yang perih. Murid-murid laki-laki bermain bola tak jauh dari kami, mereka tahu kalau aku terjatuh. Segera mereka berhenti, kawan-kawanku perempuan juga menolongku. Aduh, perasaan malu bercampur nyeri tak tertahankan olehku. Pardjo, berlari dan melihatku dnegan seksama. Dengan cepat ia berlari mencari dedaunan yang bisa ditumbuk untuk mencegah iritasi pada lenganku karena tergores. Yang lain membantu aku berdiri, ada juga yang mengejek dengan selorohnya, ada pula yang menasehatiku agar berhati-hati. Tetapi tidak ada yang ingin mengobato lukaku selain Pardjo yang dengan cepat membawa tumbukan daun-daun dan ditempelkannya di lenganku yang tergores tadi. Nyeri rasanya, tetapi aku harus kuat.
Ia tahu kalau aku kesakitan. Dengan pelan-pelan ia menempelkan tumbukan daun-daun itu. Sembari mengucapkan sepatah kata.

“Mun, hati-hati kalau bermain kejar-kejaran. Kalau jatuh seperti ini bias berbahaya bagimu” kata Pardjo dengan pelan. “Di tahan sakitnya, sebentar lagi juga sembuh kalu lukamu sudah kering” imbuhnya untuk menenangkan perasaanku.
“Iya, Jo. Terimaksih banyak ya, Jo” sahutku dengan sedikit agak memicingkan mata karena tak tahan perihnya.

Pardjo hanya tersenyum saja ketika aku mengucapkan kata-kata itu. Aku membalas senyumnya. Di situlah aku mulai merasakan jatuh cinta yang pertama kali. Ingin rasanya aku menangis merasakan kegembiraan ini. Tersipu malu aku dibuatnya, Pardjo, selayang pandang seperti Elvis Presley, penyanyi terkenal dari negeri yang jauh entah dimana. Cuma Pardjo lebih gelap warna kulitnya. Itu saja perbedaannya bagiku.

Aku tertawa sendiri dalam batin. Dia sama machonya dengan Rambo yang telah menumpas habis musuh-musuhnya dengan kecerdasan dan kecepatannya. Macho itu menurutku memakai kemeja yang bagus dengan warna cerah, memakai celana kain hitam yang dipungkasi dengan sepatu kulit hitam mengkilap. Berjalan dengan membusungkan dada sedikit agak tegap laiknya seorang ajudan. Kemudian menyapa perempuan dengan suara yang sedikit agak menggema. Itu adalah macho. Tapi kalau duduk dibonceng oleh seorang perempuan, itu namanya membunuh macho. Sehingga aku tidak suka akan hal yang terakhir kuucapkan itu.

Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar pintu kamarku diketuk dan ayah bertanya.

“Mun, apa kau sudah tidur?” Tanya ayahku dengan berat dari balik pintu.
Dengan berat aku menjawab, “ya, ini aku sedang beranjak tidur, Yah”.

Segera saja aku tidur dengan berselimut kain tenun khas daerah ini. Hangat terasa sekujur tubuhku. Jendela masih terbuka, memang sengaja kubiarkan terbuka supaya samar-samar terdengar suara biduan yang berlenggang dalam bauran ombak pantai yang mencium karang malam hari, bersenandung riang bersama ringkikan jangkrik yang menggoda pasangannya kala malam tiba. Dinginnya udara malam pun menjadi satu dalam senandung gema yang membuaiku pada mimpi-mimpi indah.

 Aku terkesima karena berada pada lembah yang penuh dengan bunga-bunga indah yang bertebaran hampir di seluruh bukit yang ku lalui ini. Kupu-kupu terbang kesana-kemari sambil menunjukkan kecantikkannya. Aku ingin menangkapnya, tapi tak bias karenbuhnya. Aku tak punya jaring untuk menangkap kupu-kupum itu. Di kejauhan tampak seorang laki-laki berdiri di antara rumput-rumput hijau yang menjulang tinggi menutupi sebagian tubuhnya. Badannya yang tegap berdiri kokoh membelakangiku. Aku bertanya-tanya, siapa gerangan laki-laki itu. Laki-laki yang kugambarkan seperti Elvis Presley dan macho seperti Rambo  itu memang mirip seperti apa yang kubayangkan dalam lamunanku. Aku segera berlari menuju ke tempat lelaki itu berdiri, semakin aku mendekat semakin jauh lelaki itu berada. Semakin ku percepat langkahku, semakin cepat juga ia menjauh dari pandanganku. Lelah, itu yang kurasakan. Tapi tak mengapa, aku lelah kalu itu adalah lelaki yang ku sukai, semoga ia adalah Pardjo, lelaki yang membuatku tersenyum laiknya bunga sakura yang tak pernah ku tahu bentuknya.

Lelaki itu semakin samar, kali ini ia melambaikan tangannya ke arahku. Aku semakin bingung, siapa dia sebenarnya, apakah dia Pardjo atau orang lain yang ingin mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Segera ku kejar dan berharap kabut itu hilang supaya terlihat wajahnya yang samar-samar menjadi terang. Aku sudah tak kuat lagi berlari mengejarnya. Lambat laun nafasku sudah semakin berat lantaran aku kelelahan. Sebentar saja wajahnya terlihat terang meskipun samar. Ia tersenyum kepadaku dan tetap melambaikan tangan. Aku tahu ia adalah lelaki itu, lelaki yang ku sukai. Ia adalah Pardjo.

Aku terjaga dalam tidurku, dan aku baru sadar dengan nafas terengah-engah. Hari sudah pagi, ayam jantan sudah berkokok sejak tiga jam yang lalu. Terdengar suara Inah dari ruang tamu. Ada apa gerangan. Inah mengetuk pintu kamarku. Tak segera ku bukakan pintu itu, setelah hampir lima menit. Aku buka pintu kamarku. Ternyata Inah sudah pulang.

Bergegas aku merapikan tempat tidurku. Kemudian menyiapkan pakaian yang akan ku pakai hari ini. Aku mandi dengan segar, memakai shampoo untuk memperindah rambutku. Segera setelah mandi dan berganti pakaian aku segera memasak untuk makanan kami sekeluarga. Tidak ada hal yang aneh terjadi hari ini. Semua biasa saja. Tetapi aku masih teringat mimpiku tadi.

Sesudah semua pekerjaan rumahku selesai. Keluar rumah aku menuju pelabuhan. Biasanya Pardjo sudah hamper sampai dari melautnya. Ternyata dugaanku benar. Pardjo sudah sampai, itu bisa terlihat karena sampan miliknya sudah ada dipinggiran pantai dengan keadaan terikat pada pasak yang ditancapkan.
Sudah puas melihat sampannya, aku kembali ke pinggiran pantai, menyusuri pasir putih bermain dengan buih-buih ombak yang tertinggal di bibir pantai. Aku tak merasa ada hal yang aneh. Hal yang kuimpikan semalam. Tetap saja aku menyusuri pantai. Menikmati pesona yang ditawarkan kampungku ini.

Setelah sekian lama berdiam diri di atas batu karang yang sering diduduki oleh lelaki yang ku sukai, aku mulai merasa ada hal yang aneh yang hilang dari kehidupanku. Suasana mulai riuh, menandakan waktu berlayar dan mencari nafkah sudah didentangkan kembali oleh waktu. Para nelayan sudah berduyun-duyun menyusuri jalan menuju pelabuhan dengan membawa bekal dan kasihsayang dari istri dan anak-anaknya.

Aku masih saja berdiam diri karena belum menangkap suasana yang hilang dari kehidupanku. Tiba-tiba aku melihat Inah berlari ke arahku sambil melambaikan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membawa sesuatu. Aku memicingkan mataku, menutupinya dengan telapak tanganku sebelah kiri menghindari terik matahari yang membuat silau pandanganku. Inah semakin mendekat, semakin terlihat ia tergesa-gesa menyampaikan sesuatu. Penasaran hatiku ingin segera tahu apa yang ingin disampaikannya. Inah terengah-engah menghela nafas sambil berkata terbata-bata dan menyodorkan kertas putih yang dilekuk dengan hati-hati.

“Mun, ada sesuatu untukmu” ucap Inah sambil menyodorkan secarik kertas putih itu.
“Apa ini, Nah?” Tanyaku padanya dengan keheranan dan penuh pertanyaan.
“Ini surat untukmu dari Pardjo, semalam ia menitipkan ini padaku, ia memintaku untuk memberikannya padamu setelah fajar mulai menyingsing hari ini” tegas Inah.
“Apa? Ini surat dari Pardjo untukku” tanyaku dengan penuh penasaran.
Aku menerima surat itu dengan tangan gemetar, ada apa gerangan. Baru kali ini aku menerima surat dari lelaki yang ku sukai itu. Perlahan ku buka surat itu. Ku tamatkan kata demi kata dalam surat itu.

“Selamat pagi Mun, maaf kalau aku mengagetkanmu dengan mengirimkan surat ini. Aku hanya ingin menyampaikan kalau aku akan ikut dengan temanku mengadu nasib di negeri orang. Aku akan berangkat malam ini. Aku tahu kamu akan kaget membaca surat ini. Untuk itu aku meminta maaf kalau aku mendadak mengabarimu seperti ini. Sebenarnya aku tak kuasa melakukan ini. Tapi aku ingin segera mengubah nasib, dan bias mencari biaya berobat bagi orang tuaku. Aku hanya meninggalkan sepucuk surat ini untuk kau simpan. Kalau kau sabar tunggulah aku kembali. Aku akan meminangmu. Kalau kau tak sabar. Bolehlah engkau berpaling dariku, pilihlah anak saudagar itu. Ia lebih baik dariku. Aku hanya anak orang laut yang sekian lama tak merengkuh kasih sayang dari orangtuaku. Terimakasih atas perhatianmu selama ini kepadaku. Aku tahu dan paham apa yang kau rasa dan gantungkan harapan kepadaku. Aku laki-laki dan itu ada dalam darahku. Aku juga merasa demikian. Tapi aku akan berusaha untuk meraih yang terbaik dan itu adalah impianku. Maafkan aku Mun. Aku menyayangimu. Pardjo.”

Hatiku hampa setelah membaca surat itu, air mataku meleleh tanpa ku rasa lagi lelehannya. Hatiku sunyi. Tak ada kesejukan yang kurasa. Aku duduk tersimpuh di atas pasir. Tak kuat menahan rasa kehilangan yang mendalam. Aku hanyut dalam isak tangisku sendiri. Inah menghiburku. Inah tahu apa yang kurasakan selama ini, dan inillah puncaknya. Aku seperti orang yang hampir kehilangan segalanya tanpa ku sadari hal itu sudah ada di hadapanku. Aku terus saja menitikkan buliran-buliran bening dari setiap lekuk mataku, sama ketika aku menangis di hadapan jenazah ibuku. Aku menangis sejadi-jadinya untuk kali kedua dalam hidupku. Aku tak kuat untuk berdiri menghadapi keadaan ini. Aku merasa seperti berjalan sendiri diantara keriuh-gembiraan bertabur bunga dan berbaurnya alunan  musik nan merdu.

Inah menemaniku sampai isak tangisku berhenti karena mata air air mataku sudah tidak mengeluarkan airmata lagi, mataku sembab, merah karena terlalu lama menangis, Inah juga ikut menangis karena merasakan apa yang kurasa. Kami berdua larut dalam isak tangis ditemani batu karang yang kami buat bersandar. Debur ombak mengalunkan musik pilu yang menyayat hati bertabur dengan dentuman-dentuman suara yang menggema karena mencium karang dan suara cicit burung camar yang menyanyikan lagu sedih.
Bahu kiri Inah basah karena airmataku. Selendangkupun basah karena airmataku pula. Kami semakin larut dalam kepiluan ini.

Terik matahari berganti senja yang mengantar temaram menyelimuti seluruh sudut kampungku. Kabut turun dari lembah-lembah perdu. Sunyi senyap malam membuaiku untuk segera beranjak tidur. Badanku lelah, pikiranku lelah, mataku tak bisa mengatup untuk sejenak melupakan kejadian ini. Malam segera berganti pagi seketika hangat mentari menyeruak dari ufuk timur membelah temaram langit yang pekat. Hangat mentari menambahkan derajatnya berganti terik kemudian dilahap temaram. Waktu begitu cepat berlalu tanpa terasa.

Sehari telah berlalu, kegalauan di hati masih menggelayut, dan aku masih belum bisa menerima keadaan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

beri komentar ya setelah baca atau hanya melihat aja.... thanks